TEMPO Interaktif, Tokyo - Perdana Menteri Jepang Naoto Kan kemarin selamat dari mosi tidak percaya di parlemen dengan menawarkan diri mundur setelah dia mengatasi krisis nuklir terburuk negeri itu pada menit-menit akhir kesepakatan dengan para pemberontak dalam partai berkuasa yang mengancam akan mendongkelnya.
Tawaran Kan untuk mundur, mungkin pada musim gugur nanti, tampak sebagai upayanya membeli waktu untuk mempersiapkan anggaran ekstra buat membiayai pembangunan kembali setelah gempa bumi pada 11 Maret yang diikuti tsunami. Namun, ia tak bisa berbuat banyak menyelesaikan kelumpuhan politik dan kebijakan negeri itu.
Berkat manuver cepat Kan, mosi tidak percaya parlemen--yang diusung oleh kubu oposisi terhadap penanganan dia atas krisis terberat sejak Perang Dunia II--dengan nyaman dikalahkan oleh perbandingan 293 lawan 152 suara.
Berpidato sesaat sebelum pemungutan suara di Majelis Rendah, Kan bilang kepada para anggota parlemen Partai Demokrat Jepang (DPJ) bahwa dia akan mengundurkan diri. “Saya ingin generasi muda mengambil alih berbagai tanggung jawab setelah saya memenuhi peran tertentu yang harus saya butuhkan, seiring saya bekerja dalam penanganan bencana,” ujar Kan dengan nada khidmat dalam pertemuan itu.
Sejumlah kubu penentang di partai berkuasa cemas anjloknya rating Kan akan mencederai kesempatan mereka terpilih kembali. Mereka sempat berkata bahwa mereka ingin dia mundur segera dan mengancam akan mendukung oposisi.
Tawaran itu membantunya memenangi lagi dukungan beberapa pemberontak potensial, termasuk pendahulunya, Yukio Hatoyama, dan para anggota sebuah kelompok yang dipimpin figur penting dan rival Kan, Ichiro Ozawa.
PM Kan tak menyebut kapan dia lengser, tapi Hatoyama menyarankan dapat terjadi ketika ekstra anggaran buat pembangunan kembali dari tsunami sudah disetujui, mungkin sekitar Agustus atau September mendatang.
Kan, sebagai perdana menteri Jepang kelima dalam beberapa tahun terakhir, berjuang mengendalikan krisis radiasi di PLTN Fukushima Daiichi yang rusak oleh tsunami. Berkuasa sekitar satu tahun, dia panen kritik karena tak cukup tanggap dalam menghadapi krisis akibat gempa besar dan tsunami bulan Maret lalu yang menimbulkan 24 ribu warga tewas atau hilang. Bencana itu--diyakini paling mahal--telah mendorong ekonomi Jepang menjadi rapuh.
REUTERS | AP | DA