TEMPO Interaktif, Sanaa - Kelompok oposisi Yaman menuding Presiden Ali Abdullah Saleh memanfaatkan ancaman dari Al-Qaidah untuk mendapatkan bantuan dari negara-negara sekitar. Bantuan tersebut, menurut kelompok oposisi, akan digunakan oleh Ali untuk mempertahankan pemerintahannya.
Sekitar 300 milisi Islam dan Al-Qaidah kemarin dilaporkan telah mengambil alih kota di pesisir pantai Kota Zinjibarm, Provinsi Abyan. Peristiwa itu terjadi saat Presiden Ali dan sejumlah pemimpin kepala suku anti pemerintah menyepakati gencatan senjata.
Para pemberontak bersenjata yakin Al-Qaidah mengendalikan sepenuhnya Zinjibar. "Sekitar 300 milisi Islam dan Al-Qaidah masuk ke Zinjibar dan mengambil alih segala sesuatunya pada hari Jumat, 27 Mei 2011," kata seorang penduduk Zinjibar.
Pada Maret lalu, para pemberontak anti pemerintah telah menarik diri dari Zinjibar setelah bertempur hebat dengan kelompok milisi. Namun, mereka kemudian kembali dapat menguasai kota itu.
Amerika Serikat meyakini Al-Qaidah memanfaatkan situasi yang tidak stabil di Yaman. Selama ini, Yaman diklaim sebagai markas Al-Qaidah di Semenanjung Arab. Amerika Serikat dan Arab Saudi, yang menjadi target Al-Qaidah, khawatir meningkatnya kekacauan di Yaman akan semakin membuat kelompok kekerasan berani melakukan aksinya.
Sehubungan dengan gencatan senjata, kedua belah pihak sepakat menarik pasukannya dari Distrik Hasaba, bersebelahan dengan Kota Sanaa, ibu kota Yaman, mulai kemarin. Gencatan senjata akan diperluas ke daerah lainnya di luar Sanaa.
"Sekarang suasana tenang. Hanya terdengar beberapa kontak senjata saja," kata Salah Naser, pejabat pemerintah yang tinggal di Hasaba.
Gencatan senjata ini, menurut para analis politik, dapat menimbulkan kembali gejolak pertempuran. Apalagi kebencian sudah lama tertanam di antara kedua kelompok dan kian menguatnya amarah terhadap Ali yang tak kunjung mundur setelah berkuasa selama 33 tahun.
REUTERS | VOA | MARIA RITA