Permintaan Thailand agar Kamboja menarik pasukannya terlebih dulu dari perbatasan sebelum penandatanganan surat pernyataan juga dinilai tidak rasional.
Sebab, faktanya, Thailand yang seharusnya menarik mundur pasukannya dari perbatasan sesuai dengan putusan Mahkamah Internasional di Hague tanggal 15 Juni 1963. “Thailand tidak punya keinginan menyelesaikan sengketa berdasarkan hukum internasional dan cara-cara damai,” tegas Hun Sen dalam pidato tertulisnya pada hari pertama pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-18 di Jakarta Convention Hall, Jakarta, kemarin.
Sebagai negara besar, kata dia, Thailand melanjutkan ambisinya melakukan konflik bersenjata untuk mencederai tetangganya, anggota ASEAN, agar semakin lemah. Kamboja lalu mengadu ke Dewan Keamanan PBB.
Sebaliknya, Kamboja sebagai negara merdeka dan berdaulat tidak berminat menginvasi tetangganya. “Kami berhak mempertahankan diri menurut prinsip-prinsip hukum internasional,” ujar Hun Sen.
Atas pernyataan ini, Perdana Menteri Thailand Abhisit Veijajiva mengaku kecewa. Sebab, kedua belah pihak sepakat menjalankan nota kesepahaman (MoU) tentang survei dan demarkasi lahan perbatasan pada tahun 2000.
MoU itu menyatakan tidak ada tindakan apa pun, termasuk penempatan pasukan dan orang-orang di sepanjang kawasan sengketa. Masalah muncul ketika Kamboja mengirimkan tentara dan warganya di kawasan itu.
Abhisit juga membantah Thailand ingin berkonflik dengan Kamboja. Ia malah menuding Kamboja bermaksud menginternasionalkan sengketa dengan menyebut proses penyelesaian bilateral tidak bekerja. "Saya frustasi juga,” ujarnya.
Ke depan, Thailand menunggu Kamboja menerima undangan penyelesaian bilateral lewat Joint Commission on Demarcation for Land Boundaries dan General Border Committee.
Ia menegaskan Thailand mendukung pengiriman tim peninjau Indonesia ke perbatasan asalkan Kamboja menarik pasukannya dari perbatasan terlebih dulu. Setelah itu, Thailand baru mau menandatangani surat pernyataan pengiriman peninjau ke perbatasan.
Dalam pidato pembukaan KTT ASEAN kemarin, Presiden Susilo Bambang Yudhyono mengingatkan ASEAN menjamin perdamaian dan stabilitas di kawasannya. Jika terjadi konflik, ASEAN diminta memfasilitasi forum diplomasi dan dialog terbuka. Semua upaya ini terdapat dalam cetak biru komunitas politik keamanan ASEAN.
Ia juga menyebutkan tiga prioritas utama untuk disukseskan ASEAN. Pertama, memastikan tercapainya kemajuan penting dalam membangun komunitas ASEAN.
Kedua, memastikan terpeliharanya situasi kondusif agar tercapai pembangunan dengan tetap menjaga sentralitas ASEAN. Ketiga, menyukseskan pembahasan visi ASEAN pasca 2015, yaitu peran komunitas ASEAN di antara komunitas global bangsa-bangsa.
MARIA RITA