TEMPO Interaktif, Washington DC - Pemilih di Amerika Serikat telah menekan tombol "reset" dunia perpolitikan di negeri adidaya tersebut. Tak akan ada lagi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Nancy Pelosi di sana, tak ada lagi kontrol satu partai saja terhadap Pemerintahan Federal, tak ada peta kemenangan mutlak dukungan terhadap Presiden Barack Obama yang mengusung semboyan "yes, we can" itu.
Maklum saja Partai Republik kemarin berhasil menggusur dominasi Partai Demokrat, partai yang mengusung Senator Obama ke kursi presiden pada 2008. Hasil pemilihan umum sela pertama memberi Republik lebih dari 230 kursi di DPR. Itu berarti Republik telah berhasil merebut kendali mayoritas di dewan yang terlepas pada 2006.
Alhasil kursi ketua dewan beralih dari Pelosi ke John Boehner. Presiden Obama pun telah menghubungi Boehner. "Saya ingin menemukan persamaan pandangan selepas pemilu," kata Obama. Sejumlah kalangan menilai kekalahan Demokrat ini diakibatkan kekecewaan pemilih Obama terhadap kondisi perekonomian negeri itu yang melemah.
"Rakyat Amerika kecewa terhadap kinerja Washington," kata Rand Paul, Senator terpilih dari Kentucky. Masyarakat, kata Paul, cemas akan masa depan perekonomian Amerika Serikat dan kecewa terhadap upaya-upaya Presiden Obama dan Kongres dalam mengatasi krisis ekonomi tersebut. "Pesan ini jelas dan tegas," ujarnya, lagi.
"Saya belum pernah merasa putus asa seperti sekarang ini," tutur John Powers, pensiunan asal New Jersey, yang mencoblos Republik. Hasil exit poll jaringan televisi ABC mengindikasikan 88% warga Amerika yakin ekonomi nasional kacau balau. Hasil jajak pendapat itu menyebut 73% responden menyatakan kecewa atas kinerja pemerintah federal.
Rasa tidak puas di kalangan masyarakat serta pengangguran yang tinggi inilah yang dijadikan senjata kubu Republik dalam memenangkan pertarungan melawan Demokrat pada pemilu sela kali ini. Banyak orang yang dulu mengantar Obama ke Gedung Putih dua tahun kecewa atas pemulihan ekonomi yang lamban. Mereka memilih untuk tidak memilih.
Cuma Demokrat belum benar-benar rontok. Kendati kehilangan enam kursi di Senat. Setidaknya partai ini berhasil mempertahankan kendalinya atas majelis tinggi. Sebab untuk mengambil kendali di Senat, Republik butuh 10 kursi. Obama pun memberi selamat kepada para pendukungnya dan meminta mereka memerhatikan reformasi asuransi kesehatan.
"Tidak akan ada lagi seorang ibu harus memilih antara perawatan kanker dan cicilan rumah karena Anda," katanya. "Karena Anda, kita tidak akan terkekang Wall Street." Pengamat politik dari Sekolah Bisnis Touro Michael Williams mengatakan bahwa rakyat tak bisa berharap pihak legislatif dan eksekutif bisa bekerjasama memperbaiki ekonomi.
"Partai Republik akan mempersulit atau menolak sama sekali Rancangan Undang Undang yang akan diajukan Demokrat," ujarnya. Mampukah Presiden Obama dan sekutunya di Demokrat menggolkan sejumlah agenda yang mereka usung? Juga, melawan kelompok anti-pajak, anti-pemerintah, dan anti-kompromi yang bergabung dengan gerakan Tea Party.
AP | TIME | NYTIMES | ANDREE PRIYANTO
PEMILU DALAM ANGKA
9,6 persen: Angka pengangguran di Amerika Serikat.
US$ 4 miliar: Total uang yang dipakai dalam kampanye pemilu. Dua kali lebih besar dari 2006.
1946: Pemilu terakhir ketika angka orang yang beralih dari satu partai ke partai lain tinggi.
87.000: Pendukung Tea Party--penyelenggara mengklaim 1,6 juta--yang berdemo di Washington.
8.000: Orang yang mendengar pidato kampanye terakhir Presiden Obama di Cleveland. Padahal ada lebih 80 ribu orang yang mendengarkan pidatonya di sana pada 2008.
GUARDIAN | DRE