Lewis menjadi perempuan yang ke-12 yang menjalani hukuman mati di Amerika Serikat sejak 1976. Ia dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap suami dan anak tirinya oleh pengadilan pada tahun 2003.
Lewis menyuruh dua orang untuk menembak mati suaminya Julian Clifton Jr dan anaknya Charles saat mereka sedang tidur pada Oktober 2002. Dia kemudian mendapat uang dari asuransi kesehatan sebesar US$250 ribu atau sekitar Rp 2,2 miliar.
Hukuman mati bagi Lewis menjadi sorotan karena banyak yang menentang hukuman ini. "Saya pikir pengadilan tidak memperhitungkan semua faktor," kata Deborah Denno, seorang profesor di Fordham Law School.
Denno yang juga pakar hukuman mati, berpendapat bukti-bukti jelas menunjukkan Lewis, yang divonis pada 2003, tidak mungkin menjadi dalang pembunuhan ganda yang rumit.
"Kejahatan memang mengerikan, tetapi ada banyak kejahatan yang mengerikan seperti ini, dan Anda tidak mendapat hukuman mati," katanya.
Peran Lewis dalam pembantaian brutal tersebut tidak bisa dipungkiri, kata Denno, tapi menghukum matinya adalah suatu hal yang "tidak seimbang" dibandingkan dengan perannya dalam pembunuhan.
"Dua laki-laki yang menjadi konspirator, yang sebenarnya melakukan pembunuhan, mendapat hukuman seumur hidup," katanya.
Lewis mengaku bersalah tujuh tahun yang lalu karena merencanakan untuk membunuh suami dan anak tirinya untuk uang asuransi jiwa. Dia kemudian dijatuhi hukuman mati, upayanya untuk banding kandas.
Harapan terakhir untuk penangguhan hukumannya datang pada hari Senin, ketika Mahkamah Agung menolak penundaan eksekusi Lewis.
Tapi seperti yang Denno jelaskan, membalikkan hukuman hukuman mati bukanlah tugas yang mudah.
"Anda dapat memiliki pengacara terbaik, dan Nyonya Lewis memiliki firma hukum yang luar biasa di belakangnya, tapi itupun masih sangat sulit," katanya.
AP I NY TIMES I MARIA C I PGR