Ia dikenal sebagai orang gila kerja. Rata-rata 18 jam saban hari ia gunakan untuk memikirkan apa yang terbaik bagi rakyat Israel dan perdamaian dengan Palestina. Selama tiga tahun terakhir, ia menerima ribuan surat, yang sebagian besar ia baca.
Lelaki kelahiran Visnieva, Polandia, ini juga sering pergi ke bioskop dan menonton konser musik. Ia juga gemar membaca dan selalu mengikuti perkembangan berita. Di sela-sela kesibukannya, ia sering menulis puisi, yang merupakan hobinya.
Simaklah ucapan dalam pidatonya setelah dilantik oleh Knesset (parlemen Israel) pada 15 Juli 2007. "Saya tidak bermimpi menjadi presiden. Impian masa kecil saya menjadi pendeta atau penyair."
Peres memang lahir dari keluarga religius. Kakeknya adalah Rabbi Zvi Meltzer, yang mengajarkan Talmud kepadanya saban hari. Namun orang tuanya, Yitzhak dan Sara, bukan Yahudi ortodoks. Peres, yang mengaku seorang Haredi, pernah menegur mereka karena mendengarkan radio pada hari Sabbath.
Selama itu pula, perdana menteri kedelapan Israel yang terpilih dua kali ini menggelar 700 pertemuan dengan kepala negara, perdana menteri, utusan khusus, ketua parlemen, dan pemimpin organisasi internasional. Ia telah memberikan 600 wawancara di luar secara dadakan atau spontan.
Walau dua cita-cita masa kecilnya itu tidak tercapai, Peres tidak mau menyesal. Ayah tiga anak ini mengaku tiga tahun terakhir sebagai presiden merupakan saat-saat paling bahagia dalam hidupnya.
Seperti pendeta dan penyair, ia mendambakan dunia yang damai serta penuh cinta di antara sesama. Atas prinsip damai yang melandasi perilaku politiknya, ia memperoleh Hadiah Nobel Perdamaian pada 1993.
Masih ada empat tahun sisa masa jabatan. Ia berharap, saat pensiun, ada pusat kebugaran pikiran. "Ketika itu terwujud, saya akan jadi orang pertama yang mendaftar," ujar politikus dari Partai Kadima ini.
Jerusalem Post | Yediot Ahronot | Faisal Assegaf