Pejabat Irak yang terlibat dalam pembicaraan itu mengungkapkan bahwa pasukan paramiliter itu mungkin akan terdiri dari ribuan pria Irak. Mereka akan disaring dari berbagai partai politik yang dahulunya berafiliasi dengan pemerintahan Saddam Hussein. Dia menambahkan bahwa milisi itu nantinya dapat segera mengambil alih kota-kota Irak dari kendali tentara Amerika.
Disebutkan pula bahwa ribuan pria itu, yang kebanyakan telah memiliki pengalaman militer, dapat disiapkan dalam waktu sekitar sebulan. Situasi sekarang telah berubah, dan ada persetujuan terhadap ide itu, kata Mudhar Shahkawt, salah seorang tokoh Irak yang baru kembali dari pengasingan dan ikut serta dalam diskusi itu. Pasukan ini dapat masuk ke kota-kota dan memungkinkan pasukan koalisi untuk segera menarik diri keluar kota.
Para pejabat Amerika sendiri mengakui adanya diskusi itu. Tetapi mereka menolak untuk mengungkapkan lebih jauh. Mereka hanya mengatakan bahwa agar pembicaraan itu sukses, harus pula diperhatikan kekhawatiran pihak Amerika tentang kondisi kelompok-kelompok pria bersenjata yang ada, yang tidak terorganisir, tidak terlatih, dan beroperasi dengan komando masing-masing di seluruh Irak.
Hal-hal yang terkait keamanan haruslah seragam, dan mereka harus sebagai pasukan keamanan Irak, bukannya menurut kelompok masing-masing, kata Charles Heatley, juru bicara Pemerintahan Sementara Koalisi. Ditambakan Charles, masing-masing kelompok itu dikhawatirkan nantinya hanya akan saling menyerang daripada bertujuan menciptakan ketertiban di Irak.
Rencana pembentukan milisi Irak dalam jumlah besar itu sendiri telah digodok. Pihak Amerika menghendaki mereka untuk menjaga tempat-tempat seperti pembangkit listrik dan juga konvoy tentara koalisi. Namun pihak Irak dalam diskusi itu menginginkan peran yang lebih besar dari itu. Sejumlah permasalahan lainnya juga masih menggantung dalam diskusi itu. Termasuk siapa yang akan memimpin pasukan itu, apakah militer Amerika ataukah pemerintahan sementara.
Diskusi mengenai kebutuhan pasukan keamanan Irak itu menyusul serangan bom mobil yang menewaskan sekitar 100 orang di Najaf, Jumat lalu. Termasuk diantara yang tewas adalah Ayatollah Mohammad Baqir al-Hakim, salah satu pemimpin besar Muslim Syiah Irak. Tewasnya Baqir juga merupakan pukulan berat bagi pasukan koalisi karena yang bersangkutan adalah juga tokoh politik yang moderat. Itu ditandai dengan kesediaannya bekerja sama dengan pasukan koalisi.
Serangan itu, yang menambah panjang serangan bom lainnya yakni yang terjadi di kantor kedutaan Yordania dan markas PBB, keduanya di Bagdad, telah pula menyulut pernyataan keras dari pemimpin sejumlah partai politik di Irak. Mereka menyatakan tidak yakin lagi bahwa tentara Amerika mampu melindungi para pemimpin dan tempat-tempat suci mereka.
NY Times/Washington Post/Wuragil - Tempo News Room