TEMPO Interaktif, Bangkok – Bangkok masih terjaga. Ketegangan masih dirasakan setelah bentrokan yang terjadi antara kelompok antipemerintah dengan militer. Bentrokan Kamis malam, telah menewaskan satu orang dan delapan orang terluka, termasuk jenderal pemberontak yang bersekutu dengan demonstran “Kaus Merah”.
Kekerasan terjadi setelah Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva mengesampingkan rencana untuk mengadakan pemilihan lebih awal. Keputusan ini memudarkan harapan pengunjuk rasa yang menginginkan pemilu pada bulan November untuk resolusi krisis politik.
Mayor Jenderal Khattiya Sawasdipol, seorang tokoh kunci dalam gerakan demonstran, kepalanya tertembak saat dia memberikan komentar ketika diwawancarai wartawan surat kabar di kamp para pengunjuk rasa. Demonstran lainnya tewas dalam bentrokan dengan pasukan keamanan.
Pemberontak Kaus Merah bersumpah tidak menyerah, meski salah satu pendukung kuat dari militer berpangkat jenderal itu tertembak, yang dikenal dengan Julukannya Seh Daeng. "Jika anda berpikir penembakan Seh Daeng akan menakuti pemimpin dan membuat mereka tidak berani tampil di panggung, anda salah," ujar salah satu pemimpin pengunjuk rasa, Jatuporn Prompan.
Sementara Amerika Serikat mengatakan pihaknya sangat prihatin tentang kekerasan itu, dan kedutaan ditutup karena lokasinya yang dekat dengan para demonstran. "Pemerintah harus terus berdialog dengan demonstran dan mereka perlu membuat perjanjian ke depan," ujar Juru Bicara Departemen Luar Negeri Philip Crowley kepada wartawan.
Tiga puluh orang telah tewas dan seribu orang cedera di Bangkok dalam serangkaian konfrontasi dan serangan demonstran sejak pertengahan Maret. Ini menjadi kekerasan politik terburuk di Thailand selama hampir dua dekade.
AP| NUR HARYANTO