Ceritanya, perpustakaan ini ternyata sering dikunjungi anak-anak sekolah yang nakal. Anak-anak itu datang ke perpustakaan bukan untuk membaca, tapi berlarian sembari berteriak, bahkan menjerit-jerit.
Tindakan anak-anak itu tentu saja mengganggu pengunjung. Kelompok-kelompok remaja itu juga doyan nongkrong di dekat pintu masuk perpustakaan di malam hari. Mereka bahkan pernah suatu kali meneror dan menyiksa dua pustakawan wanita yang sedang bertugas.
"Itu sangat mengintimidasi para staf. Polisi yang sudah diberitahu tidak melakukan apa-apa," kata Derrick Murphy, salah seorang anggota dewan kota.
Tak ingin terus terteror oleh aksi antisosial para remaja itu, perpustakaan ini pun menyewa jasa tukang pukul setempat. Tukang pukul ini didanai sekitar 1.000 poundsterling (sekitar Rp 15 juta) per bulan yang diambil dari uang pajak masyarakat setempat. "Sebanyak 99,9 persen orang pergi ke perpustakaan, bertindak normal. Tapi sayangnya ada juga yang tidak," kata Murphy.
Para tukang pukul yang sekaligus menjaga keamanan itu berpatroli di dalam perpustakaan selama tiga jam setiap hari Senin, Rabu dan Jumat selama enam minggu. "Kami memiliki tugas pelayanan dan tanggung jawab kepada staf kami untuk menyediakan lingkungan yang aman dan aman. Ini adalah solusi sementara," kata Murphy. Ada-ada saja.
Daily Telegraph | YR