Sejauh ini sudah dua kali pecah bentrokan sejak ribuan massa pendukung mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra menguasai Ratchaprasong, kawasan bisnis elite yang menjadi tujuan para pelancong di Ibu Kota Bangkok. Korban tewas 26 orang dan lebih dari 800 lainnya cedera.
Lembaga penyeru damai International Crisis Group (ICG) meminta para tokoh dunia bersikap proaktif membantu penyelesaian konflik di Negeri Gajah Putih itu. Respon sudah ada dari Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang menawarkan Indonesia menjadi mediator.
Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta pun pekan lalu melakukan lawatan pribadi untuk bertemu Abhisit yang kini berkantor di barak militer di pinggiran Bangkok. Kepada Faisal Assegaf dari Tempo ia menjelaskan soal pertemuannya itu dan pandangannya terhadap situasi politik di Thailand.
Berikut penuturannya saat dihubungi lewat telepon selulernya kemarin:
Apa benar Abhisit menelepon dan meminta Anda menjadi penengah?
Ia tidak menelepon saya, namun saya yang menemui dia. Saya sudah mengunjungi Bangkok pekan lalu.
Berapa lama pertemuan berlangsung?
Saya tidak ingat, mungkin sekitar 40 menit.
Di mana?
Di sebuah kantor khusus di barak militer (Abhisit sudah berlindung di markas angkatan darat di pinggiran Bangkok sejak Kaus Merah mulai berunjuk rasa pertengahan Maret lalu). Namun tidak ada penjagaan khusus.
Apakah Abhisit kelihatan tegang?
Ia sangat santai dan kalem. Tidak tampak rasa tertekan.
Apa saja yang Anda bahas dengan Abhisit?
Sebagian besar kami membahas hubungan bilateral antara Timor Leste dan Thailand. Saya juga menyampaikan rasa solidaritas terhadap pemerintah Thailand dan menyerukan agar segera mencari penyelesaian konflik.
Apakah Thaksin perlu dilibatkan dalam perundingan?
Saya tahu mantan perdana menteri Thaksin mendapat dukungan rakyat karena ia berjasa bagi warga miskin. Tidak membantu jika menyebut ia penjahat karena ia pemimpin yang terpilih. Pemerintah harus berbicara dengan Thaksin. Thaksin bukan musuh Thailand.
Baca Selengkapnya di Koran Tempo edisi Selasa, 4 Mei 2010