TEMPO Interaktif, Jakarta - Palang Merah Kanada pertengahan bulan ini mendapat malu dari seorang mantan stafnya saat Aceh baru memperingati lima tahun bencana tsunami, dengan membongkar ketidakpedulian organisasi itu terhadap kondisi pekerja rekonstruksi Aceh.
Virgil Grandfield seorang mantan pekerja Palang Merah Kanada menyemburkan fakta yang merusak citra organisasi kemanusiaan itu dengan berkata banyak pekerja yang dibayar di bawah standar atau belum menerima bayaran mereka.
Dalam sebuah wawancara dengan jaringan Canwest News Service dua pekan lalu, Grandfield menyamakan kondisi kerja para relawan dengan perbudakan dan menuntut Perdana Menteri Stephen Harper menyelidiki praktek kerja yang menurut Grandfield bisa disamakan dengan "perbudakan".
Ia mengatakan banyak relawan atau pekerja yang sekarang tercecer jauh dari kampung halaman mereka di Aceh menunggu bayaran dari para kontraktor yang disewa dengan biaya pemerintah Kanada.
Palang Merah Kanada telah mengakui banyak kontraktor yang disewanya memperlakukan pekerja secara sewenang-wenang, menahan upah, dan taidak menyediakan lingkungan atau fasilitas kerja yang manusiawi.
Kondisi tidak manusiawi standar barat adalah kurangnya pasokan air bersih yang cukup, kurangnya fasilitas mandi-cuci-kakus yang, dan fasilitas akomodasi yang sering bocor saat hujan.
Palang Merah Kanada juga meminta kesempatan untuk mencari para pekerja itu untuk melunasi pembayaran upah yang kurang.
Namun Grandfield mengatakan "Mereka (Palang Merah Kanada) telah diberi kesempatan untuk beroperasio dengan benar di Indonesia dan mereka tidak melakukannya. Palang Merah Kanada telah mengelola kegiatan mereka sebagai sebuah masalah pencitraan publik, dibanding sebagai sebuah masalah kemanusiaan."
Grandfield telah mengangkat masalah itu sejak 2007. ia berencana membawa masalah itu ke ranah politik dengan melakukan konferensi pers bersama dengan Partai Hijau Kanada hari ini.
MONTREAL GAZETTE | RONALD