TEMPO Interaktif, Bangkok - Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva telah sepakat untuk mengadakan tatap muka dan pembicaraan dengan pengunjuk rasa yang menuntut pemilihan umum baru untuk "memulihkan perdamaian dan meminimalkan kemungkinan kekerasan."
Kantor Abhisit membuat pengumuman pada siaran khusus di televisi Minggu pagi untuk mengumumkan bahwa "perdana menteri telah menerima untuk berunding dengan pengunjuk rasa."
Itu adalah tindakan mendadak yang berlawanan dengan komentarnya selama ini. Abhisit sendiri pergi di televisi padahal dua jam sebelumnya ia mengatakan tidak akan tunduk pada ultimatum yang dikeluarkan oleh pengunjuk rasa, yang menuntut untuk bertemu hari Minggu.
Kantor Abhisit mengatakan tanggal dan lokasi pertemuan akan dibicarakan dengan pengunjuk rasa. Pengunjuk rasa telah berkemah di Bangkok sejak 12 Maret dan mengatakan mereka tidak akan berhenti sampai Abhisit melakukan pemilihan umum.
Sebelumnya disebutkan, para pengunjuk rasa menyatakan kemenangan secara simbolis Sabtu setelah tentara memaksa mundur dari bagian-bagian distrik bersejarah Bangkok.
Mengendarai sepeda motor dan naik ke truk pickup, lebih dari 60.000 pengunjuk rasa yang mengenakan kaos merah ini memacetkan lalu lintas dan bepergian dalam parade yang bising ke kebun binatang Bangkok, kuil-kuil Buddha dan setengah lusin lokasi lain yang digunakan oleh tentara sebagai kamp-kamp sementara.
"Kami akan menyerbu tempat-tempat perkemahan tentara. Kami akan guncang pagar. Kami akan memotong kawat berduri. Kami akan berbaris melalui barikade. Kami akan berbaris untuk demokrasi!" seorang pemimpin dari "kaos merah" Nattawut Saikua, berteriak kepada orang banyak. "Ini adalah jalan kita mengakhiri penindasan militer. Ini adalah cara kita menciptakan demokrasi."
Tentara di beberapa lokasi mengemasi ransel dan meninggalkan mereka untuk menghindari bentrokan. Pihak berwenang mengatakan tentara akan berkumpul kembali di lokasi lain di dekatnya.
"Apa yang telah terjadi adalah sebuah bukti dari kekuatan rakyat," kata Weng Tojirakarn, pemimpin protes yang lain. "Ini adalah kemenangan rakyat atas militer."
Para pengunjuk rasa sebagian besar terdiri atas para pendukung mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, yang digulingkan oleh kudeta militer tahun 2006 atas tuduhan korupsi, dan aktivis pro-demokrasi yang menentang pengambilalihan tentara. Kritikus mengatakan para pemrotes adalah bidak yang hanya melayani ambisi Thaksin untuk kembali berkuasa.
Mereka menuntut Perdana Menteri membubarkan parlemen Abhisit Vejjajiva dan melakukan pemilihan umum baru, yang telah berulang kali ditolak. Abhisit tinggal dan bekerja dari sebuah pangkalan militer sejak aksi protes mulai 12 Maret lalu.
Kelompok Kaos Merah ini percaya bahwa Abhisit berkuasa tidak sah dengan keterlibatan militer dan bagian-bagian lain dari kelas penguasa tradisional dan bahwa hanya pemilu baru yang dapat mengembalikan integritas demokrasi Thailand.
Sekutu Thaksin memenangkan pemilu bulan Desember 2007, namun pemerintah yang dihasilkan dipaksa mundur oleh keputusan pengadilan. Suara parlemen membawa partai Abhisit berkuasa pada Desember 2008, dan membuat Kaos Merah memprotes bahwa pemerintahannya yang tidak demokratis.
Sabtu kemarin pengunjuk tasa lebih konfrontatif daripada demonstrasi sebelumnya. Di luar DPR, pengunjuk rasa memotong kawat berduri dan melewati polisi anti huru hara sebelum membakar salinan konstitusi dan kemudian pergi.
Saat malam tiba, pengunjuk rasa menuntut penarikan pasukan di kantor perdana menteri, yang dikenal sebagai Gedung Pemerintah.
Wakil Perdana Menteri Suthep Thaugsuban membuat pernyataan di televisi sebagai kampanye untuk memastikan bahwa situasi terkendali.
"Saya telah memerintahkan para prajurit untuk menangani situasi sehati-hati mungkin," kata Suthep. "Tidak akan ada konfrontasi dengan para demonstran, dan kami akan mencoba untuk tidak menghalangi gerakan mereka."
AP | HAYATI MAULANA NUR