Banyak warga Thailand, orang Barat, dan bahkan masyarakat dunia menyaksikan dengan jijik aksi penumpahan darah manusia dari galon-galon minuman itu. Pemandangan di televisi itu mengauk-aduk rasa mual, karena yang mereka tuangkan adalah darah asli ribuan orang.
Banyak pula yang khawatir terhadap dampak kebersihan akibat penumpahan darah di jalan-jalan Bangkok maupun di kantor-kantor pemerintah, bahkan di depan rumah Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva. Sebagian orang mencelanya sebagai tindakan membuang-buang sumber yang berharga, yang bisa digunakan untuk orang sakit yang memerlukan darah.
Namun, para pemimpin baju merah mengatakan bahwa penumpahan darah itu merupakan pengorbanan untuk demokrasi dan kutukan terhadap pemerintah. Darah yang berwarna merah juga merupakan simbol massa berkaus merah.
Dalam pergulatan politik di Thailand, yang selama beberapa tahun ini ditunjukkan oleh para pendukung "kuning" dan "merah", simbol tampaknya menjadi senjata yang paling penting. Mereka mempercayai perbintangan, kekuatan gaib, dan bahkan jimat sebagai salah satu sumber kekuatan bagi gerak politik mereka.
Keyakinan seperti itu tak hanya ditemukan di kawasan pedesaan. Banyak pemimpin senior negara, baik sipil maupun militer, ikut secara aktif dalam acara-acara ritual magis untuk mendapatkan kekuataan khusus.
Nah, para pemimpin Front Persatuan Demokrasi anti-Kediktaturan (UDD) mempercayai kekuatan khusus itu bila mereka mengadakan upacara-upacara menumpahkan darah di banyak gerbang kantor-kantor pemerintah. Tempat-tempat yang disiram bergalon-galon darah itu mereka yakini akan terkena kutukan keras.
Penumpahan darah itu bisa juga dianggap sebagai tindakan untuk menghadapi pemerintahan yang dipandang tidak memiliki legitimasi--yang sekarang dipimpin oleh Abhisit Vijjajiva-- bila darah ditumpahkan di luar rumahnya. Namun, pemerintah tentu saja tak percaya pada kepercayaan-kepercayaan gaib semacam itu.
"Dunia melihat sebagian warga di Thailand sebagai orang-orang yang percaya pada ilmu hitam dan itu jelas tidak beradab," kata Wakil Perdana Menteri Sethup Thaugsuban, yang bertanggungjawab atas urusan keamanan nasional.
"Darah adalah lambang kekerasan dan menaburkannya di rumah seseorang merupakan hal yang menyedihkan. Perdana menteri sangat menyesalkan insiden seperti ini," kata Satit Wonghongtaey, seorang menteri di kantor perdana menteri.
Seorang pengunjuk rasa baju merah mengatakan dia merasa sumbangan darahnya merupakan lambang untuk menyambung tali persaudaraan dengan sesama pengunjuk rasa sebagaimana dilakukan oleh para pejuang zaman dulu.
Sebenarnya, kata sejarawan Dr Pasuk Phongpaichit dan Chris Baker, para politisi yang membacakan ritual-ritual tertentu atau mempengaruhi massa untuk menyumbangkan darah tak lebih bertujuan untuk mendapatkan dan menumpuk kekuatan. "Kemampuan untuk mempengaruhi peristiwa melalui kekuatan magis adalah bentuk kekuasaan," kata Dr Pasuk.
BBC | YR