Keluarga Panahi juga berkumpul, kecuali anak lelakinya, Panah Panahi, yang sedang keluar rumah. Istri dan anak perempuannya yang penggila sepak bola turut bergabung. Kegilaan sang anak, yang sering diam-diam menonton pertandingan sepak bola di stadion, kemudian memberi Panahi inspirasi membuat film Offside (2006), yang dilarang pemerintah Iran.
Tanpa mereka ketahui, 15 polisi berpakaian preman telah mengamati pertemuan malam itu, bahkan telah beberapa jam sebelumnya berada di luar rumah. "Sekitar pukul 22.00, mereka menangkap keluarga kami dan para tamu. Komputer dan barang-barang pribadi lainnya juga dibawa," katanya seperti dikutip BBC.
Baca Juga:
Apa salah sutradara ternama yang pernah meraih penghargaan internasional dalam Festival Film Cannes, Berlin, dan Chicago itu? Jaksa Abbas Jafari Dowlatabadi mengatakan, penangkapan Panahi tak ada hubungannya dengan profesinya maupun politik. Ia ditangkap karena "pelanggaran tertentu". Jafari tak menyebut pelanggaran yang dimaksudkan.
Penangkapan ini sekaligus melengkapi penangkapan sejumlah artis yang mendukung gerakan oposisi yang dipimpin Mir Hussein Mousavi. Penyanyi Shahram Nazeri ditangkap pada Desember tahun lalu. Fotografer Mehraneh Atashi dipenjara sejak Januari lalu. Panahi pernah ditahan ketika menghadiri pemakaman Neda Agha Soltan, seorang mahasiswa yang tewas dalam rangkaian aksi demonstran kalangan oposisi, Juni tahun lalu. Ia juga pernah mengenakan scarf hijau dalam Festival Film Montreal--hijau dikenal sebagai warna oposisi-untuk menunjukkan dukungannya kepada gerakan Mousavi dan kawan-kawan.
Sebenarnya kritik-kritik Panahi, 49 tahun, terhadap rezim Iran sudah dimulai jauh sebelum munculnya kisruh politik pascapemilu tahun lalu. Bedanya, Panahi mengungkapkan kritik lewat film-film bertema realis. Salah satu film yang terkenal adalah Offside, yang dilarang pemerintah Iran. Film ini menang dalam Festival Film Berlin pada 2006.
Baca Juga:
Beberapa waktu lalu dalam Festival Film Rotterdam, Panahi bicara panjang-lebar dengan Tempo tentang salah satu aturan paling menggelikan di Iran: perempuan dilarang menonton sepak bola di stadion. Film yang dibuat secara diam-diam inilah yang kembali disebut beberapa media sebagai salah satu hal yang membuat marah pemerintah Teheran.
Berikut ini petikan wawancara wartawan Tempo, Asmayani Kusrini, dengan Panahi:
Kenapa Anda merahasiakan proyek Offside?
Di Iran, saya sutradara yang digarisbawahi dengan garis merah. Artinya harus diwaspadai...(tertawa). Selain itu, Offside mengangkat masalah yang sudah lama ingin saya pertanyakan secara publik mengenai larangan perempuan menonton sepak bola di stadion, yang alasannya bagi saya tak masuk akal.
Apa alasannya?
Tak pernah terlalu jelas sebetulnya. Hanya, kalangan konservatif menganggap bahwa kehadiran perempuan di stadion akan membawa dampak negatif yang bisa membahayakan keselamatan mereka. Alasan yang tak logis, tentu saja. Sebetulnya film saya sangat sederhana. Ketika pemerintah melarang film ini diputar di Iran, ini menunjukkan bahwa Offside pada akhirnya memang representasi masalah yang lebih luas.
Maksud Anda di level politik?
Oh, tak ada hubungannya dengan politik sama sekali. Film-film saya hanyalah komentar terhadap isu-isu sosial dalam masyarakat Iran, entah secara gamblang atau menggunakan metafora. Tapi itu semua bukan pernyataan politik. Dan seperti hal-hal lain yang menyangkut isu sosial, memang selalu dikaitkan dengan elemen politik, tapi bukan itu tujuan saya membuat film. Film saya bukan pernyataan politik.
Bagaimana akhirnya Anda bisa menyelesaikan film ini?
Kami terpaksa sembunyi-sembunyi melakukan syuting. Beberapa pengambilan gambar terpaksa kami lakukan di luar Teheran demi menghindari endusan polisi.
Film Offside bercerita tentang upaya sekelompok remaja perempuan yang ingin menonton pertandingan sepak bola. Dari mana Anda mendapat ide ini?
Idenya dari putri saya sendiri. Putri saya sangat gemar menonton sepak bola. Suatu hari, entah bagaimana caranya, dia berhasil masuk tanpa ketahuan. Dari cerita bersama teman-temannya, mereka berhasil masuk karena menyamar. Banyak yang melakukan hal ini. Contohnya ketika ada pertandingan Jepang melawan Iran, di antara korban luka-luka kedapatan gadis remaja yang menyamar sebagai pria. Jadi, seketat apa pun aturan yang diterapkan, mereka pasti bisa melakukan apa saja untuk melanggar aturan ini. Apalagi diterapkan pada remaja yang memang sedang haus akan banyak hal.
ASMAYANI KUSRINI | YOS RIZAL