TEMPO Interaktif, Kuala Lumpur - Sembilan gereja diserang selama empat hari ini di tengah perselisihan penggunaan kata "Allah" oleh non-Muslim, yang memicu ketidakstabilan politik bagi negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Malaysia yang mempunyai citra sebagai negara moderat dan stabil diguncang prahara rasial. Serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya mulai pada Jumat sampai Senin telah memicu gelombang keresahan di kalangan minoritas Kristen Malaysia dan ketegangan hubungan mereka dengan mayoritas Muslim Melayu.
Sekitar sembilan persen warga Malaysia atau 28 juta orang beragama Kristen, yang kebanyakan adalah etnis Cina atau India. Sementara kaum Muslim sebanyak 60 persen dari populasi dan sebagian besar adalah etnis Melayu.
Serangan itu merupakan pukulan bagi kesatuan rasial yang didukung oleh Perdana Menteri Najib Razak di bawah semboyan "1Malaysia", sejak mengambil alih kekuasaan pada April. "Ini menunjukkan bahwa, setelah 52 tahun hidup bersama, pembangunan bangsa dan persatuan nasional dalam kondisi) compang-camping," kata Charles Santiago, seorang anggota oposisi Parlemen. "Malaysia sekarang hidup dalam ketakutan akan terjadi sebuah bentrokan rasial menyusul meningkatnya serangan terhadap gereja."
Pendeta Eddy Marson Yasir mengatakan, serangan terbaru pada Senin dini hari, merusak pintu masuk utama dari Gereja Evangelis Borneo di bagian selatan negara bagian Negeri Sembilan. Dia mengatakan, tidak jelas bagaimana pintu kayu itu dibakar, tapi tidak ada bukti sebuah bom telah digunakan.
Gereja ini melayani terutama untuk orang-orang Kristen dari Sabah dan negara bagian Sarawak timur, yang menyembah dalam bahasa Melayu dan menggunakan kata "Allah" untuk menggambarkan Tuhan.
Banyak Muslim yang marah mengenai keputusan Pengadilan Tinggi pada 31 Desember yang mencabut putusan pemerintah Malaysia yang melarang kalangan non-Muslim menggunakan kata “Allah” untuk memberikan rujukan nama Tuhan. Majelis mengabulkan gugatan pemerintah Katolik Roma Malaysia.
Sementara beberapa kelompok warga beragama muslim mengaku lebih dari 30 kelompok sukarela Muslim telah menawarkan untuk membantu melindungi gereja-gereja dengan menjadi "mata dan telinga" dari polisi, kata Nadzim Johan, wakil dari kelompok muslim.
AP| NUR HARYANTO