TEMPO Interaktif, Pihak berwenang Mesir secara berkala akan membuka perbatasan di Rafah, Jalur Gaza, untuk pelintas batas, namun dengan izin. Hal tersebut dinyatakan pejabat setempat, Ahad kemarin.
Sekitar 133 warga Palestina, sebagian besar mahasiswa, saban hari keluar masuk ke Mesir melalui Gaza dengan visa warga asing.
Selain untuk kepentingan studi juga untuk berobat. Sementara 25 orang lainnya beralasan, selama ini mereka tinggal di Mesir namun keluarganya hidup di Gaza. Oleh karena itu selama penutupan perbatasan Mesir di Gaza menyebabkan warga Palestina tidak bisa kembali ke rumah.
Pekan lalu, Mesir mengumumkan pembukaan perbatasannya di Rafah namun hanya untuk mereka yang akan masuk ke Gaza saja, kawasan yang sebagian dikontrol oleh Israel sejak 3-6 Januari.
Tak jauh dari perbatasan Mesir, ribuan aktivis internasional melakukan protes kepada pemerinah Mesir agar membuka perbatasannya dengan Palestina secara tetap. Sekitar 1300 anggota Gerakan Pembebasan Gaza (GFM) dari 40 negara berada di Mesir untuk membawa bantuan dan suplai berbagai keperluan sebagai bentuk solidaritas mereka terhadap rakyat Palestina di Gaza.
Meskipun demikian, pemerintah tetap keukeuh tidak akan membuka perbatasan tersebut secara luas. Pembukaan hanya untuk 100 orang anggora GFM melintasi perbatasan. Akhirnya 92 anggota GFM berhasil memasuki Gaza untuk bertemu dengan organisasi non pemerintah dan saksi utama perusakan Gaza akibat perang tahun lalu, kata anggota Gerakan kepada Al Jazeera.
Menurut Ann Wright, koordinator Gerakan, Jumat pekan lalu GFM sepakat mengeluarkan maklumat "Deklarasi Kairo", sebuah dokumen berisi diakhirinya pendudukan Israel atas wilayah Palestina, serta mendukung boikot atas investasi dan sanksi terhadap Israel sebagaimana yang ditetapkan dalam hukum internasional.
Dukungan terhadap maklumat itu disampaikan oleh utusan Afrika Selatan. Menurut utusan itu, Israel telah menerapkan politik apartheid seperti yang pernah terjadi di negerinya.
Wright merupakan pensiunan kolonel angkatan darat AS dan diplomat yang pernah protes atas perang Irak 2003 lalu. Dia berharap Gerakan terus melakukan kegiatannya untuk menarik perhatian internasional.
"Saya kira hal ini benar-benar tak dapat diprediksi bisa terjadi di Mesir," ujar Wright.
ALJAZEERA | CA