TEMPO Interaktif, Caracas - Antonio Rafael Caldera, yang dua kali menjadi presiden dan membantu membangun demokrasi di Venezuela serta mengeluarkan pengampunan yang memungkinkan Hugo Chavez untuk naik ke kekuasaan, meninggal Kamis (24/12) di Caracas di usianya 93 tahun.
Andres Caldera, dalam komentarnya di stasiun televisi Venezuela tidak memberi tahu penyebab kematian ayahnya. Namun mantan presiden yang memerintah dari Venezuela antara tahun 1969-1974 dan 1994-1999 telah menderita penyakit Parkinson selama beberapa tahun.
Dalam memerintah selama 20 tahun, Caldera dikenal tangguh menghadapi lawan politik dan cenderung ke arah populis. Ia juga dikenal hidup sederhana dan menghindari kemewahan serta mempunyai integritas saat korupsi umum di negaranya.
Pada tahun 1994, Caldera memberi pengampunan kepada Chavez, yang dipenjara karena memimpin kudeta militer yang gagal dua tahun sebelumnya. Tapi Caldera kemudian sangat bertentangan dengan Chavez yang kemudian menjadi presiden Venezuela saat ini.
Chavez menyatakan belasungkawa kepada keluarga Caldera. Anggota keluarga mengatakan mereka tidak ingin pemerintah memainkan peran apa pun dalam memperingati Caldera. "Keluarga sudah membicarakan hal itu, dan kami memutuskan bahwa kami tidak akan menerima penghormatan dari pemerintahan Hugo Chavez," katanya.
Lahir pada tahun 1916 di bagian barat laut Yaracuy, Caldera memperoleh gelar sarjana ilmu politik di Universitas Sentral Venezuela. Dia masuk politik di tahun 1930-an dan mendirikan Partai COPEI sosialis - Kristen, gerakan yang didasarkan pada kelas menengah, pada tahun 1946.
Pada pemilihan presiden tahun berikutnya, novelis Romulo Gallegos merebut kursi presiden. Tapi demokrasi runtuh dan Caldera membantu menghidupkan kembali sebagai salah satu dari tiga penandatangan dari Pakta Punto Fijo, yang kemudian menggelar pemilihan umum setelah jatuhnya diktator Jenderal Marcos Perez Jimenez di tahun 1958.
Di bawah perjanjian, COPEI dan Partai Aksi Demokratik Romulo Betancourt berbagi kekuasaan selama hampir 40 tahun. “Salah satu pahlawan demokrasi sipil kita telah menghilang," kata mantan calon presiden dan pemimpin COPEI kata Eduardo Fernandez.
Dalam masa jabatannya yang pertama sebagai presiden, Caldera menghapuskan sisa-sisa gerakan gerilya kiri mereka dengan memberikan amnesti umum. Pada masa ini juga ditandai dengan program pemerintah yang menggunakan pendapatan negara dari minyak untuk membuka lapagan kerja dan mengembangkan birokrasi.
Dua dekade kemudian, Venezuela bergolak diikuti dua kali kudeta militer yang gagal pada tahun 1992 dan impeachment Presiden Carlos Andres Perez atas tuduhan korupsi. Caldera memenangkan dalam babak baru tanpa dukungan COPEI, dan melanggar Pakta Punto Fijo mengenai pembagian kekuasaan. Di kantor, Caldera menghadapi krisis terburuk perbankan, di mana setengah dari bank-bank Venezuela gagal. Dia menetapkan harga dan mengontrol pertukaran mata uang untuk mengatasi krisis dan terfokus pada pembangunan di pedalaman Venezuela.
Kemudian Caldera memimpin negara yang mulai relatif stabil. Dia juga memberikan amnesti kepada komandan pasukan tentara muda yang berada di belakang salah satu upaya kudeta: Hugo Chavez, yang empat tahun kemudian terpilih menggantikan Caldera.
Pada tahun 2003, dalam wawancara koran, Caldera memperingatkan bahwa kekerasan bisa terjadi jika Chavez menggunakan sumber daya negara, untuk menghalangi upaya mengadakan referendum penarikan kembali presiden berhaluan kiri. Kaldera mempertanyakan legitimasi konstitusi baru di mana Chavez, yang kekuasaannya mulai meningkat.
Kaldera meninggalkan seorang istri, Alicia Pietri, dan enam anak-anak. Upacara pemakaman dijadwalkan untuk Desember 26 di ibukota.
AP| NUR HARYANTO