TEMPO Interaktif, Manila – Pihak berwenang Filipina menerapkan darurat militer sejak Sabtu (5/12) di Provinsi Selatan Maguindanao untuk mencegah kekerasan lebih lanjut setelah bulan lalu terjadi pembantaian 57 orang.
Sekretaris Eksekutif Eduardo Ermita mengatakan, pemerintah juga menanggguhkan hak-hak sipil di provinsi ini, untuk pertama kalinya dalam hampir tiga dekade.
Deklarasi ini dilakukan setelah pihak berwenang menerima laporan kelompok-kelompok bersenjata yang setia kepada wali kota setempat Andal Ampatuan Jr, yang menjadi tersangka utama dalam pembantaian anggota klan politik saingannya. Kelompok itu berkumpul di daerah tersebut untuk melancarkan pemberontakan terhadap penahanannya.
"Ini adalah kekuatan besar yang benar-benar bisa melakukan tindakan kekerasan terhadap siapa pun di provinsi ini. Oleh karena jumlah mereka, maka mereka benar-benar ancaman bagi keamanan provinsi," ujar Jenderal Victor Ibrado, kepala angkatan bersenjata Filipina.
Pada 23 November, orang-orang bersenjata menyerang sebuah konvoi yang terdiri dari istri, saudara perempuan dan kerabat politisi perencanaan yangyang akan ikut pemilihan umum tahun depan, Bersama mereka terdiri dari pengacara dan wartawan. Kemudian, 57 mayat-mayat ditemukan di jalanan dan di bukit dan beberapa dikuburkan di sebuah lubang yang digali tergesa-gesa, semua mayat didapati tubuhnya penuh luka tembak.
AP| NUR HARYANTO