Di halaman rumahnya yang berkamar lima, pohon zaitun dan sitrus yang ditanamnya di atas tanah tandus dan berbatu dulu telah tumbuh besar. Lebih dari sepuluh tahun silam, bersama sejumlah orang Yahudi yang sekarang menjadi tetangganya di pemukiman Efrat, ia menyambut seruan Ariel Sharon yang lantang tapi menusuk hati orang Palestina (waktu itu, 1998, Ariel Sharon masih menteri luar negeri). Sebuah stasiun radio Israel menyiarkan pidatonya yang menganjurkan penduduk Israel mendatangi daerah perbukitan Arab yang ditaklukkan Israel dalam Perang Enam Hari 1967, dan mulai mendudukinya.
“Ambil alih daerah perbukitan dan nyatakan klaim kalian,” begitu salah satu provokasinya yang terkenal.
Pemukiman Efrat yang merupakan bagian dari wilayah pemukiman Gush Emunim di Tepi Barat kini telah berkembang pesat. Sebuah majalah komunitas yang terbit secara berkala telah berdiri. Ada sebuah coffee shop, warung pizza, klub jazz, dan pagar kuning yang dialiri listrik, dilengkapi kamera keamanan dan penjaga bersenjata otomatis. Dengan semua ini, Sharon Katz, keluarganya, dan tetangganya sangat yakin bahwa mereka warga Israel yang baik, selalu patuh pada hukum. Tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa segenap penduduk Efrat telah melanggar salah satu pasal Konvensi Jenewa (tentang perampasan tanah), sampai akhirnya Presiden Amerika Serikat Barack Obama angkat bicara. Ia menunjukkan: justru dari titik itulah perundingan perdamaian Israel-Palestina mesti diawali.
“Pemukiman harus dihentikan, supaya kita bisa bergerak maju,” kata Barack Obama, akhir Juli lalu. Ya, Barack Obama mungkin juga menangkap bahwa pemukiman adalah bentuk lain dari ekspansionisme Israel yang dilakukan oleh warga sipil. Dan bagi orang-orang Palestina, ini berarti semakin pupusnya harapan buat kembali ke kampung halaman yang diduduki Israel sejak Perang 1948 dan Perang 1967. Tak bisa disangkal, pemukiman mengentalkan rasa tidak berdaya, sekaligus meneguhkan ketidakpercayaan pada langkah-langkah dunia internasional untuk mendamaikan dua bangsa yang sama-sama keturunan Nabi Ibrahim itu. Tak terkecuali, langkah Amerika mempertemukan utusan Palestina dan Israel di meja perundingan, akhir September ini.
Perkembangan yang cukup dramatis para pemukim Yahudi di daerah pendudukan telah menimbulkan banyak kekhawatiran. Menurut sebuah sensus pada 1995, terdapat 138 ribu orang pemukim Yahudi di Gaza dan Tepi Barat. Keadaan ini berubah drastis 15 tahun berselang. Kini jumlah itu berlipat ganda menjadi 300 ribu--dengan 200 ribu orang di Yerusalem Timur, daerah yang ditaklukkan Israel dalam Perang 1967.
Namun para pemukim Yahudi itu, siapa yang bisa menghentikan mereka dalam sekejap? Belasan tahun hidup bersama dalam komunitas tertutup, dalam sebuah enklave yang dikelilingi 2,5 juta orang Palestina yang sakit hati, membuat mereka eksklusif. Di sela-sela kesibukannya sebagai pekerja sosial dan ibu rumah tangga di Efrat, dari jendela rumahnya Sharon suka mengamati orang-orang Palestina yang tinggal dalam flat-flat berwarna hijau di kaki bukit.
Diam-diam Sharon dan para tetangganya mengembangkan cerita menarik tentang penghuni flat-flat hijau itu. Di mata perempuan di usia 50-an tahun ini, orang-orang Palestina bukan penduduk asli; mereka datang ke daerah itu pada 1970-an, tapi tak berhasil membangun sebuah komunitas dengan infrastruktur di atas tanah yang kering itu sebagaimana yang telah dilakukan di Efrat atau pemukiman Gush Emunim lainnya. ”Mereka berbeda dengan kaum Yahudi; orang-orang Yahudi sangat keras kepala. Jika mereka sudah menginginkan sesuatu, mereka tak akan berhenti. Orang Yahudi inilah yang memulai segalanya,” kata Sharon.
Di lingkungan eksklusif seperti Efrat, banyak orang di luar komunitas yang masuk kategori “musuh”: orang-orang Arab yang mengharapkan para pemukim Yahudi angkat kaki, tentara Israel yang sering menggunakan kekerasan kala mengevakuasi wilayah pemukiman, dan Barack Obama. Dan sosok yang terakhir ini telah berkali-kali mendesak Perdana Menteri Benjamin Netanyahu supaya cepat menghentikan pembangunan pemukiman Yahudi di daerah pendudukan, sambil ia menjanjikan sesuatu yang baru bagi Israel. Yakni, hubungan tingkat konsuler dengan negara-negara Arab, izin menggunakan wilayah udara negara-negara itu, hubungan dagang yang saling menguntungkan, dan sebagainya.
Kita menyaksikan Netanyahu mencoba bertahan dan mengulur waktu dalam menghadapi tekanan tak biasa dari Amerika, mitra Israel yang paling setia selama ini.
Dunia di luar sana memang telah berubah, tapi Israel--seperti digambarkan Sharon Katz di atas--dihuni orang-orang keras kepala. Dalam sebuah wawancara yang disiarkan di televisi, sejarawan Benzion Netanyahu, ayahanda Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, menguraikan negara Israel Raya yang membentang luas dari Mediterania sampai ke Sungai Yordan. Dan sang ayah yang usianya sudah mencapai 100 tahun dan juga berhaluan ultranasionalis ini merasa yakin bahwa putranya telah menyiapkan sejumlah opsi yang sukar diterima pihak Palestina.
Idrus F. Shahab (The New York Times, Reuters, The Economist, Time)