TEMPO Interaktif, Xinjiang - Pasukan keamanan dikerahkan menghentikan kerusuhan di kota Urumqi. Polisi menggunakan gas air mata untuk membubarkan demonstran pada Jumat (4/9), saat ribuan etnis Cina Han menuntut keamanan yang lebih baik.
Para pengunjuk rasa berkumpul di jalan-jalan di Urumqi, ibukota wilayah Xinjiang, pada hari kedua untuk memprotes pihak berwenang yang lamban untuk menghukum Uighur, sejak kerusuhan mematikan pada 5 Juli lalu. "Gas air mata telah disemprotkan untuk membubarkan para pengunjuk rasa," kata pejabat kantor berita Xinhua mengatakan dalam bahasa Inggris.
Sebelumnya, mobil van polisi berpatroli di jalan-jalan dengan pengeras suara, mengatakan kepada orang-orang untuk pulang ke rumah dan menjaga ketertiban. Sekolah-sekolah ditutup dan rute bus kota juga terganggu.
Sekolah tutup pada hari Jumat setelah siswa ikut turun dan menjadi ujung tombak demonstran sejak Kamis (3/9). Kerumunan itu juga memanggil-manggil Sekretaris Partai daerah Wang Lequan untuk mengundurkan diri.
Kepanikan meningkat di kota karena pemerintah dalan pesan teks, seminggu yang lalu, memperingatkan adanya serangan dengan jarum suntik. Beberapa orang tua takut untuk mengirim anak-anak mereka sendirian ke sekolah pada awal minggu.
Cina Han mengaku mereka menjadi sasaran serangan misterius dengan jarum suntik. "Mereka tidak punya hak untuk menghalangi seperti ini. Uighur menusuk kami dengan jarum," kata seorang pria yang berusaha untuk mendorong penghalang di lingkungan Uighur.
Sekelompok laki-laki muda dari Cina Han membentangkan sebuah bendera Cina dan berusaha untuk memimpin pawai ke alun-alun. Polisi merenggut bendera, tapi orang-orang terus berteriak. "Yang paling utama adalah tidak ada orang di sini yang merasa aman lagi," kata Zhen Guibin, salah satu demonstran.
Protes Kelompok etnis Uighur pada 5 Juli --yang kebanyakan menganut Islam-- membuat serangkaian kekerasan di seluruh kota yang menewaskan 197 orang, yang sebagian besar dari mereka golongan Cina Han. Dua hari kemudian, wilayah Uighur diserang balik oleh Cina Han yang menuntut balas dendam.
REUTERS| NUR HARYANTO