TEMPO Interaktif, Maidaguri, Nigeria - Polisi Nigeria, Jumat (31/7), mengklaim telah memenangkan pertempuran dengan sebuah kelompok Islam radikal Boko Haram dan berhasil membunuh pemimpinnya Mohammed Yusuf, 39 tahun. Tetapi para pengamat di negara itu mengingatkan tentang kemungkinan akan adanya serangan balasan, dan kalangan penggiat hak-hak asasi manusia Nigeria mengkritik kinerja polisi atas kejadian penuh kekerasan itu, dan menuntut adanya penyelidikan pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Muhammed Yusuf diduga ditembak ketika berada dalam tahanan polisi pada Kamis malam. Meskipun para pejabat mengatakan is tewas tertembak ketika berusaha melarikan diri dari tahanan. Namun kalangan kelompok hak asasi manusia Nigeria mengecam kejadian tersebut dan mengatakan sebagai peristiwa pembunuhan bergaya eksekusi, dan meminta pembongkaran makamnya untuk penyelidikan lebih lanjut. Peristiwa ini juga mendapat kecaman dari kelompok hak asasi manusia Amnesty Internasional.
Sampai hari ini, Sabtu (1/8), kota Maidaguri, di Nigeria Utara, tempat kejadian kekerasan itu berpusat, diberitakan puluhan mayat masih memenuhi jalan-jalan, terutama di sekitar markas polisi di kota tersebut. Diperkirakan, tak kurang dari 300 orang pengikut sekte Boro Haram menjadi korban tewas dalam kekerasan ini.
Pejabat Nigeria, seperti dikutip kantor berita Associated Press, mengatakan Mohammed Yusuf terbunuh setelah tertangkap pada Kamis malam, setelah melalui pencarian selama empat hari. "Kelompok ini beroperasi di bawah pemimpin yang karismatik. Kini mereka tidak lagi mempunyai inspirasi," ujar jurubicara Nigeria Emmanuel Ojukwu, Jumat (1/8)," para pemimpin yang kira tak akan terkalahkan dan abadi telah terbuktikan sebaliknya.”
Ojukwu mengatakan masih ada beberapa daerah terisolasi yang keras di wilayah Nigeria Utara, tetapi secara umum kondisi di wilayah itu digambarkannya kehidupan telah kembali normal. Setelah dilanda kerusuhan kurang lebih selama enam hari sejak awal pekan lalu.
Kelompok hak asasi Internasional Human Rights Watch juga mengecam peristiwa itu. “Pihak berwenang Nigeria harus segera melakukan investigasi dan menangkap semua yang terlibat dalam pembunuhan ini, dan pihak-pihak lain yang juga terlibat dalam kekerasan di Nigeria Utara,” ujar Corinne Dufka, pemerhati masalah-masalah Afrika Barat.
Muhammed Yusuf, merupakan pemimpin sekte militan Islam Boko Haram yang selama ini menuntut pemberlakuan syariah Islam di seluruh wilayah Nigeria. Dilaporkan, ia seorang sarjana yang menolak teori evolusi Darwin, mengatakan dunia tidak berputar karena Quran tidak mengatakan itu, dan mengatakan Allah lah yang membuat hujan.
Sekte ini berkembang pesat di negara bagian Borno di wilayah Nigeria Utara, terutama diibukota negara bagian itu, Maidaguri. Para pengamat di Nigeria belum bisa memastikan apakah dengan kematian Mahammed Yusuf ini akan mengakhiri kekerasan di wilayah itu, atau malah akan memancing serangan balasan dari kalangan sekte Boko Haram, yang menuntut pemberlakuan Syariah Islam di seluruh wilayah Nigeria yang multi agama itu.
Pihak berwenang Nigeria hanya mengijinkan pemberlakuan sebagian dari hukum-hukum syariah Islam di wilayah utara, tetapi para pengikut Boko Haram terus meningkatkan tuntutan untuk pemberlakuan seluruh hukum Syariah, khususnya hukum yang mengatur masalah kesejahteraan sosial terhadap orang miskin seperti Zakat. Para militan diberitakan kemudian melakukan serangan terhadap gereja, pos polisi, penjara, dan kantor-kantor pemerintah, dalam gelombang kerusuhan yang dimulai sejak hari Minggu (26/7) di negara bagian Borno, dan dengan cepat merembet ke tiga negara bagian lain yaitu Borno, Bauchi dan Yobe.
Presiden Umaru Yar'Adua mengatakan para petugas keamana telah diperintahkan ketika massa mulai berkumpul dan tersebar di seluruh Kota Maidaguri untuk perang.
Korban diperkirakan sekitar 300 orang, hampir separuhnya ditemukan berada di masjid-masjid milik kelompok ini, dan ratusan korban anak-anak muda ditemukan disepanjang jalan-jalan kota dan di dekat markas polisi setempat.
Wilayah utara Nigeria merupakan wilayah dengan kemiskinan akut di Nigeria. Banyak analis yang memandang akar masalah di wilayah ini adalah kemiskinan yang mendorong munculnya militansi. Sejak lama Nigeria dipimpin oleh penguasa militer yang represif dan korup, dan baru sejak 1999 demokrasi sipil mulai tumbuh. Layanan publik tidak pernah efektif diwilayah ini, sehingga masyarakat kekurangan kebutuhan pokok dan juga tak ada aliran listrik dan air.
AP l WAHYUANA