TEMPO.CO, Jakarta - Claudia Sheinbaum – pembuat sejarah baru sebagai perempuan pertama yang menjadi presiden Meksiko – baru berusia enam tahun ketika orang tuanya terlibat dalam aksi protes selama salah satu periode paling gelap dalam sejarah modern negara tersebut.
Saat itu tahun 1968, Partai Revolusioner Institusional telah memerintah Meksiko dengan tangan besi selama beberapa dekade. Negara ini dilanda demonstrasi besar-besaran yang menuntut perubahan demokratis. Dalam sebuah insiden yang mengerikan, sebanyak 400 mahasiswa yang sedang melakukan demonstrasi dibunuh oleh tentara dan pasukan paramiliter.
Tragedi tersebut menggembleng Sheinbaum yang dibesarkan dalam sebuah keluarga yang sangat aktif dalam aktivisme.
Kini Sheinbaum, lahir pada 24 Juni 1962, mengatakan bahwa ia berutang banyak pada ayahnya yang seorang insinyur kimia dan ibunya yang seorang ahli biologi seluler.
Mereka memberikan semangat untuk politik, kecintaan terhadap alam dan minat yang mendalam pada ilmu pengetahuan, katanya dalam sebuah film biografi yang dirilis tahun lalu yang disutradarai oleh putranya.
"Saya tumbuh dengan dualitas tersebut - sebuah keyakinan bahwa politik dapat mengubah dunia bersama dengan pola pikir akademis dan ilmiah," kata Sheinbaum.
Melihat ke belakang, tampaknya wajar jika ia kemudian menjadi seorang mahasiswa pemrotes, ilmuwan iklim, dan politisi.
Nilai-nilai Sheinbaum selaras dengan kebijakan Lopez Obrador yang telah ia janjikan untuk dilanjutkan.
Dia ingin mengambil alih jubahnya sebagai pembela negara, memperkuat kontrol publik atas sumber daya alam, serta memperkuat program kesejahteraan dan proyek-proyek infrastruktur andalannya. Dalam sebuah perubahan kecil, ia menyerukan penekanan yang lebih besar pada penggunaan energi terbarukan.
Dari Protes ke Panggung Politik
Anak kedua dari tiga bersaudara, Sheinbaum berasal dari keluarga Yahudi, termasuk orang tua ibunya yang bermigrasi ke Meksiko dari Bulgaria saat mereka melarikan diri dari agresi Nazi pada tahun 1930-an.
Tumbuh besar di Mexico City, Sheinbaum belajar bermain gitar dan belajar balet, detail yang digunakan para pengkritiknya untuk menggambarkan dirinya sebagai orang yang elitis dan tidak bersentuhan dengan masyarakat Meksiko pada umumnya.
Aktivismenya dimulai sejak dini.
Pada usia 15 tahun, ia menjadi sukarelawan untuk membantu kelompok ibu-ibu yang mencari anak-anak mereka yang hilang, sebuah penderitaan yang sudah berlangsung lama di negara yang memiliki sejarah kekerasan antar geng.
Pada saat itu ia bertemu dengan aktivis hak asasi manusia terkemuka dan politisi sayap kiri Rosario Ibarra, yang kelak menjadi wanita pertama yang mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 1982. Sheinbaum kemudian mengatakan bahwa partai sayap kiri MORENA yang berkuasa telah mengambil alih perjuangan Ibarra.