Menjalani Ramadan di gedung sekolah tersebut, banyak warga yang masih beribadah dengan minim cahaya, listrik dan pengeras suara. Sementara, beribadah di masjid bukan merupakan pilihan bagi mereka.
“Karena banyak masjid yang sekarang sudah mengalami kerusakan atau bahkan hancur total, dibom oleh pihak Israel. Sehingga umat muslim di Jalur Gaza kesulitan untuk mencari tempat salat lima waktu, ataupun salat Jumat atau Tarawih,” ujar Fikri.
Meski ada masjid di sekitar sekolah, dia mengungkap bangunan itu sudah lama tidak bisa dipakai untuk salat berjemaah.
Masih ada muazin yang mengumandangkan azan dari masjid yang nyaris kosong tersebut. “Tapi selalu azan itu menyebutkan, ‘Salatlah kalian di rumah masing-masing’,” katanya. Alasannya adalah masjid menjadi salah satu sasaran pasukan Israel.
Beberapa kali pasukan Israel menyerang masjid di sekitar sekolah itu, walaupun Fikri menyebut serangannya tidak masif dan hanya menggunakan pesawat nirawak atau drone.
“Karena ditarget, masjid yang masih bagus dan layak juga nggak dipakai. Pemerintahan setempat mengimbau tidak salat di masjid,” ujarnya.
Untuk wudhu, warga menggunakan 20 liter air yang disediakan para relawan setiap harinya untuk keperluan kamar mandi. Sebab, seperti kebutuhan dasar lain, air bersih sedang sulit didapatkan di Gaza. Bahkan, banyak warga menderita penyakit menular lewat air akibat pasukan Israel mengebom sistem pembuangan limbah dan menyebabkan air limbah meluap, menurut Otoritas Kualitas Lingkungan Palestina.
Di antara jemaah yang salat Tarawih, jumlah perempuannya lebih sedikit dibandingkan jumlah laki-laki. Hal ini dikarenakan banyak perempuan di sana tidak memiliki mukena, kata Fikri.
Menurut keterangannya, jumlah sajadah pun terbatas, sehingga satu sajadah dipakai untuk dua orang. Kaki para jemaah harus bertumpu dengan semen atau lantai di tengah suhu musim dingin yang bisa mencapai 5 hingga 10 derajat Celcius tiap malam dan pagi.
“Ditambah dengan minimnya cahaya, minimnya alat salat. Semuanya serba terbatas bagi mereka yang melaksanakan ibadah puasa tahun ini,” ucap Fikri.
Relawan yang telah menghabiskan Ramadan di Gaza sejak 2020 itu mengatakan tentunya puasa tahun ini berbeda dengan tahun lalu, saat warga bisa menjalankan ibadah bersama anggota keluarga yang lengkap. Sebelum peperangan pecah pada 7 Oktober 2023, mereka juga masih memiliki tempat tinggal dan tempat beribadah yang aman.
“Berbeda dengan tahun ini. Banyak anggota keluarga sudah hilang. Ribuan anak jadi yatim piatu dan ratusan ribu rumah hancur,” katanya.
NABIILA AZZAHRA
Pilihan editor: Putin Ancam Barat: Rusia Siap Perang Nuklir