TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Tinggi PBB pada Selasa, 6 Juni 2023, menggelar sidang kasus dugaan dukungan Moskow terhadap separatis pro-Rusia di Ukraina yang dipersalahkan karena menembak jatuh pesawat Malaysia Airlines MH17 pada 2014. Ukraina dalam sidang itu menyebut Rusia sebagai negara teroris.
Ini adalah pertama kalinya pengacara Ukraina dan Rusia bertemu di Mahkamah Internasional ICJ, juga dikenal sebagai Pengadilan Dunia, sejak Moskow meluncurkan invasi besar-besaran ke Ukraina pada 24 Februari 2022. Tim hukum dengan puluhan perwakilan dikirim oleh masing-masing negara.
Sebuah panel yang terdiri dari 16 hakim di ICJ mulai mendengar klaim Ukraina bahwa Moskow melanggar perjanjian anti-terorisme PBB dengan memperlengkapi dan mendanai pasukan pro-Rusia yang menembak jatuh pesawat jet tersebut, menewaskan semua 298 penumpang dan awaknya.
Dalam klaim yang sama, Ukraina juga telah meminta pengadilan yang berbasis di Den Haag untuk memerintahkan Rusia menghentikan diskriminasi terhadap kelompok etnis Tatar di Krimea, semenanjung Ukraina yang diduduki Rusia sejak 2014.
Dalam sambutan pembukaan, Duta Besar Ukraina Anton Korynevych mengomentari penghancuran bendungan pembangkit listrik tenaga air Nova Kakhovka beberapa jam sebelumnya di wilayah yang dikuasai Rusia di Kherson selatan Ukraina. Kyiv mengatakan Rusia meledakkan bendungan; Kremlin menyalahkan apa yang dikatakannya sebagai sabotase Ukraina.
"Rusia tidak dapat mengalahkan kami di medan perang, sehingga menargetkan infrastruktur sipil untuk mencoba memaksa kami agar tunduk," kata Korynevych dalam dengar pendapat, menggambarkan tindakan Rusia sebagai "tindakan negara teroris".
"Baru hari ini Rusia meledakkan bendungan besar ..., menyebabkan evakuasi warga sipil yang signifikan, kerusakan ekologi dan mengancam keselamatan pembangkit listrik tenaga nuklir Zaporizhzhia."
Moskow mencoba untuk membatalkan kasus tersebut, dengan alasan ICJ tidak memiliki yurisdiksi.
Penerbangan MH17 ditembak jatuh oleh rudal buatan Rusia pada 17 Juli 2014 di atas Ukraina timur yang dikuasai separatis pro-Rusia.
November lalu, pengadilan Belanda menghukum dua orang Rusia dan seorang separatis Ukraina secara in absentia atas peran mereka dan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada mereka. Sidang menyimpulkan, bahwa Rusia memiliki "kendali menyeluruh" atas pasukan separatis.
Ukraina menuntut pengadilan memutuskan bahwa Moskow telah melanggar perjanjian anti-terorisme dengan memasok dana dan senjata kepada pasukan pro-Rusia di Ukraina sejak 2014, termasuk kelompok yang diduga menembak jatuh MH17.
Rusia memboikot sidang di pengadilan pada Maret 2022 yang menangani permintaan Ukraina untuk memberlakukan tindakan darurat dalam kasus ICJ lainnya, di mana Kyiv melawan klaim genosida Rusia terhadap penutur bahasa Rusia di Ukraina. Kyiv menyebut tuduhan itu sebagai pembenaran palsu atas invasi Rusia.
Ukraina juga berpendapat Rusia melakukan diskriminasi terhadap etnis Ukraina dan Tatar di Krimea dalam upaya untuk menghapus budaya mereka.
"(Rusia) sedang mengejar proyek jangka panjang untuk menghapus hak dan budaya yang membuat Ukraina bangga sebagai bangsa multi-etnis, untuk menghapus apa yang menjadikan bangsa Ukraina, Ukraina, dan apa yang membuat etnis Tatar Krimea, Tartar Krimea," kata Harold Koh, seorang pengacara pemerintah Ukraina.
Rusia menyangkal pelanggaran HAM sistematis di wilayah Ukraina yang didudukinya.
Pengadilan ditunda pada hari Selasa setelah Ukraina mengakhiri presentasinya. Rusia akan memiliki kesempatan untuk menanggapi kasus Kyiv pada hari Kamis di pengadilan.
Putusan ICJ, pengadilan tinggi PBB untuk perselisihan antar-negara, bersifat mengikat tetapi tidak memiliki mekanisme penegakan.
Presiden Rusia Vladimir Putin juga menjadi subjek surat perintah penangkapan oleh Pengadilan Kriminal Internasional, juga di Den Haag, atas tuduhan kejahatan perang atas deportasi paksa anak-anak Ukraina. Kremlin menyangkal hal ini.
REUTERS
PILIHAN EDITOR Pita Limjaroenrat Diadukan Kasus Saham, Ganggu Langkah Jadi PM Thailand?