TEMPO.CO, Jakarta -Utusan khusus PBB untuk Myanmar Noeleen Heyzer tidak akan melanjutkan mandatnya. Hal itu diungkapkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa pada Rabu, 31 Mei 2023.
Juru bicara PBB Stephane Dujarric, dikutip ABC mengatakan, Heyzer, mantan wakil sekretaris jenderal PBB, akan pergi mengakhiri jabatannya pada 12 Juni.
Dujarric mengatakan Sekretaris Jenderal Antonio Guterres berterima kasih kepada Heyzer “atas usahanya yang tak kenal lelah demi perdamaian dan rakyat Myanmar.”
Dia mengatakan sekretaris jenderal akan menunjuk utusan khusus baru.
Heyzer menjabat selama 20 bulan – kurang dari setengah waktu pendahulunya, Christine Schraner Burgener.
Heyzer mengambil pekerjaan itu pada Oktober 2021 setelah kudeta militer di Myanmar pecah pada Februari tahun itu. Tatmadaw – militer Myanmar, menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi yang terpilih secara demokratis dan telah menyebabkan perlawanan bersenjata yang meluas.
Pada perjalanan pertamanya ke Myanmar Agustus lalu, Heyzer bertemu dengan kepala pemerintahan militer, Jenderal Senior Min Aung Hlaing.
Dia memintanya untuk segera menghentikan semua kekerasan, mendukung jalur politik kembali ke pemerintahan sipil dan demokrasi, dan mengizinkan Suu Kyi yang dipenjara untuk kembali ke rumah dan bertemu dengannya.
Namun, permintaaan ini diabaikan militer. Heyzer kemudian memberikan penilaian suram mengenai keadaan di Myanmar.
Heyzer melapor kepada Majelis Umum PBB – yang beranggotakan 193 orang, pada 16 Maret 2023, bahwa dampak pengambilalihan militer telah "menghancurkan", dengan kekerasan berlanjut "pada skala yang mengkhawatirkan".
Perlawanan rakyat yang meluas terhadap penindasan brutal oleh militer tidak menunjukkan tanda-tanda mereda di sebagian besar negara, kata Heyzer, dan dengan kedua belah pihak berniat untuk menang dengan kekerasan.
"Tidak ada prospek penyelesaian yang dirundingkan.”
Dalam sebuah seminar di Singapura, Heyzer juga menyoroti kondisi di Myanmar memaksa tidak ada jalan keluar yang jelas dari krisis ini dan tidak akan ada solusi yang mudah.
"Jika saya mengunjungi Myanmar lagi, itu hanya jika saya dapat bertemu dengan Daw Aung San Suu Kyi," kata Heyzer di acara yang diselenggarakan oleh ISEAS–Yusof Ishak Institute, pada September 2022, seperti dilansir Reuters.
Sementara dalam komentar yang dirilis dalam sebuah pernyataan, Heyzer juga mencatat "perbedaan posisi yang terus berlanjut di antara negara-negara anggota PBB." atas Myanmar dan mengatakan bahwa "solusi politik pada akhirnya tidak dapat dipaksakan dari luar."
Heyzer merupakan sosiolog asal Singapura. Dia menjabat dari 1994 hingga 2007 sebagai direktur eksekutif UNIFEM, salah satu pelopor organisasi payung PBB untuk wanita yang dikenal sebagai UN Women.
Dia juga wanita pertama yang menjabat sebagai sekretaris eksekutif Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik, dari 2007 hingga 2014, jabatan yang memberinya pangkat wakil sekretaris jenderal.
Pilihan Editor: Krisis Myanmar Semakin Runyam, Utusan PBB Peringatkan Bencana Korban
REUTERS | ABC