TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Uganda Yoweri Museveni menandatangani undang-undang anti-LGBT terberat di dunia, dengan hukuman mati untuk "homoseksualitas yang diperparah", sehingga menimbulkan kecaman Barat dan mengancam kelangsungan bantuan dari negara donor.
Hubungan sesama jenis ilegal di Uganda, seperti di lebih dari 30 negara Afrika, tetapi undang-undang baru ini melangkah lebih jauh.
Undang-undang Uganda menetapkan hukuman mati bagi "pelanggar" karena melawan hukum dan berpotensi menularkan penyakit mematikan seperti HIV/AIDS melalui seks gay. Beleid ini memberikan hukuman 20 tahun karena "mempromosikan" homoseksualitas.
"Presiden Uganda hari ini telah melegalkan homofobia dan transfobia yang disponsori negara," kata Clare Byarugaba, seorang aktivis HAM Uganda. "Ini adalah hari yang sangat kelam dan menyedihkan bagi komunitas LGBTIQ, sekutu kami, dan seluruh Uganda."
Dia dan aktivis lainnya akan menggugat undang-undang, yang ditandai dengan Museveni menandatangani berkas di mejanya menggunakan pena emas dalam foto yang di-tweet oleh kepresidenan. Pemimpin berusia 78 tahun itu menyebut homoseksualitas sebagai "penyimpangan" dan mendesak anggota parlemen untuk melawan tekanan "imperialis".
Museveni telah mengirimkan RUU asli yang disahkan pada bulan Maret kembali ke anggota parlemen, meminta mereka untuk mengurangi beberapa ketentuan. Tetapi persetujuan utamanya tidak diragukan di negara konservatif di mana sikap anti-LGBT telah mengeras dalam beberapa tahun terakhir, sebagian karena kampanye oleh kelompok gereja evangelis Barat.
Uganda menerima miliaran dolar bantuan asing setiap tahun dan sekarang dapat menghadapi sanksi.
Sponsor RUU itu, Asuman Basalirwa, mengatakan kepada wartawan bahwa visa AS ketua parlemen Anita Among dibatalkan setelah undang-undang itu ditandatangani.
Gedung Putih mengutuk RUU yang disahkan pada bulan Maret, dan bulan lalu pemerintah AS mengatakan sedang menilai implikasi undang-undang untuk kegiatan di Uganda di bawah PEPFAR, program HIV/AIDS andalannya.
Dalam pernyataan bersama pada hari Senin, PEPFAR, Dana Global untuk Memerangi AIDS, Tuberkulosis dan Malaria, dan Program Gabungan PBB untuk HIV/AIDS (UNAIDS) mengatakan undang-undang tersebut menempatkan perjuangan anti-HIV di Uganda "dalam bahaya besar".
Dominic Arnall, chief executive Open For Business, sebuah koalisi perusahaan yang mencakup Google dan Microsoft, mengatakan grup tersebut sangat kecewa.
"Data kami menunjukkan bahwa undang-undang ini bertentangan dengan kepentingan kemajuan ekonomi dan kemakmuran semua orang di Uganda," katanya.
Uni Eropa mengulangi kecaman dari bulan Maret sementara badan hak asasi manusia PBB mengatakan undang-undang itu adalah resep untuk pelanggaran sistematis terhadap hak-hak orang Uganda.
"Kami terkejut bahwa undang-undang anti-gay yang kejam dan diskriminatif sekarang menjadi undang-undang," cuitnya.
Langkah Uganda dapat mendorong anggota parlemen di negara tetangga Kenya dan Tanzania melakukan tindakan serupa.
Dimasukkannya hukuman mati untuk pelanggaran seperti menularkan HIV telah mengundang kemarahan.
Undang-undang Uganda yang ada memberikan hukuman maksimal 10 tahun penjara karena sengaja menularkan HIV dan tidak berlaku ketika orang yang tertular infeksi tersebut mengetahui status HIV pasangan seksualnya.
Sebaliknya, undang-undang baru tidak membedakan antara penularan yang disengaja dan tidak disengaja dan tidak ada pengecualian berdasarkan kesadaran akan status HIV.
Versi amandemen RUU tersebut, yang diadopsi awal bulan ini setelah Museveni mengembalikannya ke parlemen, menetapkan bahwa hanya mengidentifikasi diri sebagai LGBTQ bukanlah kejahatan dan merevisi aturan yang mewajibkan orang untuk melaporkan aktivitas homoseksual menjadi wajib melaporkan ketika seorang anak terlibat.
LGBTQ Uganda menyebut perubahan itu melecehkan mereka. Mereka mengatakan pengesahan RUU pada bulan Maret memicu gelombang penangkapan, penggusuran, dan serangan massa.
Masalah ini sudah berlangsung lama di Uganda.
Undang-undang anti-LGBTQ tahun 2014 yang tidak terlalu ketat dibatalkan oleh pengadilan Uganda atas dasar prosedural, setelah pemerintah Barat pada awalnya menangguhkan beberapa bantuan, memberlakukan pembatasan visa, dan membatasi kerja sama keamanan.
Pada tahun 2009, RUU yang dijuluki "bunuh kaum gay" karena pada awalnya mengusulkan eksekusi homoseksual diperkenalkan setelah konferensi di Kampala menarik perwakilan dari Amerika Serikat termasuk evangelis anti-gay terkemuka Scott Lively.
Selain kampanye agama, sikap anti-LGBTQ di Afrika juga berakar pada era kolonial, termasuk pasal anti-sodomi dalam hukum pidana Inggris. Pada saat Inggris melegalkan tindakan sesama jenis pada tahun 1967, banyak bekas koloni yang merdeka, tidak ikut mengubah hukum tersebut.
REUTERS
PILIHAN EDITOR Malaysia Tangkap Kapal China, Diduga Jarah Bangkai Kapal Perang Inggris Eks PD II