TEMPO.CO, Jakarta – Presiden Joko Widodo menekankan kembali soal kesiapan menjadi penjembatan Rusia-Ukraina saat bertemu untuk kedua kalinya dengan Presiden Volodymyr Zelensky akhir pekan lalu. Di tahun kedua invasi Rusia ke Ukraina itu, Indonesia, menurut pengamat, punya kapasitas meredakan konflik walau terbentur satu realitas.
Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran Teuku Rezasyah mengatakan Indonesia punya kapasitas bilateral, regional, hingga global untuk menjadi penjembatan. “Pada saat yang sama, RI juga realistis akan kompleksitas di Ukraina, yang penyelesaiannya tergantung pada NATO (pakta pertahanan Barat), dan PBB,” katanya saat dihubungi Tempo, Senin, 22 Mei 2023.
Jokowi dan Zelensky bertemu di sela konferensi tingkat tinggi atau KTT G7, Hiroshima, Jepang, pada akhir pekan lalu. Dalam persamuhan tersebut, pemimpin membahas implementasi Formula Perdamaian Ukraina.
Presiden Jokowi menyebut Indonesia terus mendukung upaya perdamaian di Ukraina dan menyatakan kesiapannya untuk menjadi jembatan perdamaian. "Indonesia siap jadi jembatan perdamaian antara Ukraina dan Rusia," kata Jokowi.
Rusia menginvasi Ukraina sejak Februari 2022. Negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris, menyebut agresi Rusia ke negara tetangga, sama-sama bekas Uni Soviet, itu tak dapat dibenarkan.
Moskow menegaskan berulang kali bahwa alasannya melancarkan operasi militer khusus ke Ukraina adalah untuk melindungi diri dari perluasan NATO ke timur Eropa, yang mengancam kedaulatannya. Barat mengecam tindakan itu dengan memberikan bantuan senjata, hingga memberlakukan sanksi ekonomi.
Saat ini pertempuran masih terjadi di wilayah timur Ukraina, Donbas. Ratusan ribu termasuk warga sipil telah tewas akibat perang itu, hingga muncul kekhawatiran perang nuklir, mengingat Rusia merupakan negara dengan pasokan senjata nuklir terbanyak.
Rezasyah beranggapan, mengingat konflik yang berpotensi pada penggunaan nuklir, RI perlu merancang resolusi di PBB, dengan melibatkan peran serta negara-negara Gerakan Non-Blok dan Organisasi Kerja Sama Islam. Sejauh ini, sudah ada beberapa resolusi yang dikeluarkan PBB soal Ukraina, dari mulai penyeruan gencatan senjata, kecaman soal aneksasi oleh Rusia, hingga desakan untuk penyelesaian konflik, yang dikeluarkan pada waktu terpisah.
Bagi Rezasyah, Indonesia sendiri sulit mendorong peta jalan untuk terlibat lebih jauh dalam penyelesaian perang Rusia Ukraina. Kendati, penegasan sikap soal dukungan terhadap kedaulatan seperti yang tertuang dalam pernyataan ketua ASEAN dalam KTT Labuan Bajo lalu, dan forum internasional lainnya perlu teta disuarakan.
Indonesia, seperti Brasil, India, dan Afrika Selatan, tidak secara aktif mendukung atau mengecam invasi Rusia, sebab negara-negara ini mengikuti tradisi “non-blok” yang berakar dari Perang Dingin. Sejarah kolonial mereka juga memperkuat skeptisisme tentang Barat.
Hal ini, pada gilirannya, telah memicu keengganan untuk mendukung Ukraina, mengingat dukungan militer dan ekonomi yang kuat dari Amerika Serikat dan Eropa. Baik Indonesia, India, Afrika Selatan, tetap menjaga hubungan dengan Rusia, walau Barat memberlakukan sanksi.
Pilihan Editor: Hotel di Mekah Kebakaran, 8 Jamaah asal Pakistan Tewas