TEMPO.CO, Jakarta - Seorang mantan polisi militer Rwanda diadili di Prancis pada Rabu 10 Mei 2023, didakwa dengan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan selama pembantaian 1994 di negara asalnya. Sidang di Paris akan berlangsung hingga 30 Juni.
Philippe Hategekimana, 66 tahun, melarikan diri ke Prancis setelah genosida, memperoleh status pengungsi dengan nama palsu. Tiba di Prancis pada 1999, Hategekimana diduga berperan penting dalam pembantaian penduduk lokal di Rwanda.
Dia dinaturalisasi Prancis pada 2005, dengan nama baru: Philippe Manier. Setelah memperoleh status pengungsi dengan menyatakan identitas palsu, pria tersebut menetap di wilayah Rennes (Ille-et-Vilaine) dimana dia bekerja sebagai satpam di Universitas Rennes-2.
Ini adalah persidangan kelima di Prancis terhadap seorang yang diduga terlibat dalam pembantaian antara April dan Juli 1994, di mana 800.000 orang tewas, kebanyakan dari mereka adalah etnis Tutsi.
Hategekimana dituduh terlibat dalam pembunuhan puluhan orang Tutsi dan juga mendirikan penghalang jalan untuk menghentikan orang Tutsi yang kemudian akan dibunuh di dalam dan sekitar ibu kota provinsi selatan Nyanza, tempat dia bekerja sebagai pejabat polisi militer senior.
Dia membantah tuduhan itu.
Penggugat menuduhnya "menggunakan kekuasaan dan kekuatan militer yang diberikan kepadanya melalui pangkatnya untuk mengambil bagian dalam genosida".
Ia diduga terlibat dalam pembunuhan seorang biarawati, Suster Agustinus, dan wali kota Ntyazo Narcisse Nyagasaka yang menentang eksekusi di kota tersebut.
Hategekimana juga dituduh berperan dalam pembunuhan 300 pengungsi Tutsi di sebuah bukit bernama Nyamugari, dan dalam serangan di gunung lain bernama Nyabubare yang menewaskan sekitar 1.000 warga sipil.
Dia melarikan diri dari Prancis ke Kamerun pada akhir 2017 setelah pers melaporkan bahwa Kolektif Partai Sipil untuk Rwanda (CPCR), salah satu penggugat dalam persidangan minggu ini, telah mengajukan pengaduan terhadapnya.
Dia ditangkap di ibu kota Yaounde pada 2018 dan diekstradisi ke Prancis.
Prancis, salah satu tujuan utama para buronan genosida Rwanda, telah mengadili dan menghukum mantan kepala mata-mata, dua mantan wali kota, mantan sopir hotel, dan mantan pejabat tinggi dalam persidangan serupa sejak 2014.
Namun, Prancis umumnya menolak permintaan untuk mengekstradisi tersangka ke Rwanda, mendorong Presiden Paul Kagame untuk menuduh Paris menolak yurisdiksi Rwanda.
Hubungan antara kedua negara memanas sejak laporan sejarawan yang ditugaskan oleh Presiden Emmanuel Macron dan dirilis pada 2021 mengakui tanggung jawab "luar biasa" Prancis karena gagal menghentikan pembantaian.
Warga Rwanda lainnya, seorang dokter bernama Sosthene Munyemana yang tinggal di Prancis sejak 1994, menghadapi persidangan di Paris sebelum akhir tahun.
Pilihan Editor: Ini Hasil Penyelidikan yang Dorong Prancis Minta Maaf Atas Genosida Rwanda
FRANCE24