TEMPO.CO, Jakarta - Rusia menyatakan terjadi dua serangan drone ke Kremlin pada Rabu malam, 3 Mei 2023, dan menuding Ukraina sebagai pelaku dengan Amerika Serikat menjadi arsitek serbuan itu.
Serangan ini menjadi penetrasi senjata paling parah ke wilayah udara Rusia dalam waktu sekitar 36 tahun. Lima bulan lalu, sebuah serangan drone menghantam pangkalan udara Rusia di Dyagilevo, berjarak ratusan km dari Moskow.
Bisa dikatakan, Rusia telah kebobolan dan ini menjadi tamparan bagi Presiden Vladimir Putin dan merusak kepercayaan warga Rusia atas pernyataan superioritas pertahanannya pada saat perang berkecamuk di perbatasan mereka.
“Jika kita menganggap itu adalah serangan Ukraina, anggap itu sebagai serangan performatif, demonstrasi kemampuan dan pernyataan niat: ‘jangan berpikir Moskow aman’”, tulis spesialis Rusia dan analis keamanan Mark Galeotti di Twitter seperti dikutip Aol.com, Kamis.
Bagi Galeotti, pakar asal Inggris, tidak mungkin serangan itu direncanakan untuk menargetkan Putin, yang terkenal jarang pergi ke Kremlin, apalagi menginap di sana semalaman.
Peristiwa itu juga bertepatan dengan persiapan Hari Kemenangan Rusia 9 Mei yang ditandai dengan parade militer melintasi Lapangan Merah, di bawah tembok Kremlin.
Amerika Serikat meragukan akan keaslian serangan itu. Juru bicara keamanan nasional Gedung Putih John Kirby mengatakan Rusia "hanya berbohong" dan menambahkan masih belum jelas apa yang terjadi di Kremlin.
Ketika ditanya tentang dugaan niat Rusia untuk membunuhnya, Presiden Ukraina Zelensky mengatakan, “Ini sangat sederhana. Rusia tidak memiliki kemenangan. Dia [Putin] tidak bisa lagi memotivasi masyarakatnya, dan dia tidak bisa lagi mengirim pasukannya ke kematian mereka … sekarang dia perlu memotivasi rakyatnya untuk maju.”
Mick Mulroy, mantan wakil asisten menteri pertahanan AS dan pejabat CIA, mengatakan kepada BBC News bahwa Rusia mungkin mengarang ini untuk digunakan sebagai dalih menargetkan Presiden Zelensky. "Sesuatu yang telah mereka coba [lakukan] di masa lalu," katanya
Menteri Pertahanan Inggris Ben Wallace mengatakan dia "tidak akan menerima komentar mentah-mentah dari Rusia" dan mereka menilai laporan tersebut.
“Kami jelas akan menilai apa yang telah kami lihat di media terbuka dan kemudian kami mungkin akan mengeluarkan komentar nanti, tetapi saat ini saya tidak akan berkomentar karena itu adalah komentar sepihak oleh Rusia dan saya pikir apa yang telah kita pelajari dalam seluruh konflik ini adalah saya tidak akan menerima komentar mentah-mentah dari Rusia,” katanya.
Phillips O'Brien dari University of St Andrews menilai klaim Rusia itu sebagai cara "untuk membuat Ukraina terlihat sembrono, baik untuk melemahkan dukungan Barat atau mencoba menopang dukungan domestik Rusia".
AOL | REUTERS | BBC