TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Luar Negeri, KBRI Yangon dan KBRI Bangkok memastikan telah menindaklanjuti permintaan pelindungan 20 WNI yang menjadi korban penipuan sebuah perusahaan online di Myanmar (online scam).
Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri RI Judha Nugraha pada Rabu, 3 April 2023 menjelaskan sejumlah langkah telah dilakukan pihaknya antara lain mengirimkan nota diplomatik kepada Kementerian Luar Negeri Myanmar, berkoordinasi dengan otoritas setempat, serta bekerja sama dengan lembaga internasional seperti IOM dan Regional Support Office Bali Process di Bangkok.
"Tantangan di lapangan memang tinggi. Mayoritas WNI berada di Myawaddy, lokasi konflik bersenjata antara militer Myanmar dan kelompok pemberontak," kata Judha dalam keterangan pers.
Kendati begitu, hal tersebut tidak menyurutkan berbagai langkah pelindungan yg terus diupayakan Kementerian Luar Negeri, KBRI Yangon dan KBRI Bangkok. Upaya perlindungan tersebut antara lain mendesak otoritas Myanmar mengambil langkah efektif untuk menyelamatkan para WNI dan memetakan jejaring yang ada di Myawaddy melalui kerjasama dengan berbagai lembaga pemerhati kasus penipuan online. Pendekatan formal dan informal pun terus dilakukan.
Sedangkan dari sisi penegakan hukum, Kementerian Luar Negeri berkoordinasi dengan Bareskrim Polri untuk menindak para pelaku. Dari sisi pencegahan, telah dilakukan kegiatan kampanye public awareness mengenai modus-modus TPPO di kasus online scam.
Selama periode 2020-2023, KBRI Yangon telah menerima laporan 203 WNI yang mengalami permasalahan di wilayah Myanmar, khususnya terkait indikasi atau dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Hingga April 2023, KBRI Yangon telah memfasilitasi penyelesaian atau pemulangan 127 WNI.
Sebelumnya Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mendampingi pihak keluarga para korban dugaan TPPO ke Bareskrim untuk melaporkan perekrut pengiriman Buruh Migran Indonesia (BMI) ke Myanmar oleh pelaku berinisial A.
Sebelum berangkat dari Indonesia, perekrut A mengiming-imingi pekerjaan sebagai operator komputer di salah satu perusahan bursa saham di Thailand dengan janji gaji senilai Rp 8 juta -10 juta perbulannya dengan fasilitas kerja yang baik. Namun faktanya, 20 korban diberangkat secara unprosedural ke Myanmar dan ditempatkan di penempatan kerja yang tidak resmi dan tidak layak oleh pelaku A. Para korban dipekerjakan secara paksa, dieksploitasi, disiksa secara psikis maupun fisik hingga disetrum. Kasus ini telah melanggar Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan TPPO.
Pilihan Editor: Roket Penelitian Swedia Tak Sengaja Masuk Wilayah Norwegia