TEMPO.CO, Jakarta - Duta Besar Sudan untuk Indonesia Yassir Mohamed Ali pada Rabu, 3 Mei 2023, memastikan pihaknya rutin melakukan kontak dengan pemerintah Indonesia terkait konflik di Sudan. Mohamed Ali bahkan rencananya akan bertemu dengan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi untuk melaporkan perkembangan terakhir mengenai konflik ini.
"Saya juga akan meminta bantuan dari perbatasan dan forum internasional terkait situasi di Sudan. Kami berharap dapat segera bertemu dengan Menteri Kesehatan (Budi Gunadi Sadikin) dan berusaha mencari dukungan dari saudara-saudara kami," kata Duta Besar Mohamed Ali dalam acara jumpa pers di rumah dinasnya di Kuningan, Jakarta.
Duta Besar Mohamed Ali sangat berharap ada bantuan kemanusiaan lain, mengingat rumah sakit di Ibu Kota Khartoum banyak yang hancur. Dia mengakui Sudan telah menerima beberapa dukungan dan bantuan dari sejumlah negara, namun bantuan masih tetap diperlukan.
"Kami juga sudah menerima beberapa dukungan dari beberapa negara, di antaranya dari Oman dan Mesir," ujarnya.
Terkait upaya penyelesaian konflik, Duta Besar Mohamed Ali menyebut kelompok Pasukan Pendukung Cepat (RSF) tidak mau duduk bersama dengan pemerintah. RSF hanya memiliki dua pilihan, yakni terus mempersenjatai diri dan menyerah atau harus menghadapi segala konsekuensi.
Sudan bergolak ketika pada Sabtu pagi, 15 April 2023, meletup pemberontakan yang dilakukan oleh RSF, dalam upaya untuk merebut kekuasaan secara paksa, mereka secara terang-terangan menyerang sesama rekan di Angkatan Bersenjata Sudan (SAF), di berbagai lokasi di ibu kota, Khartoum, dan kota-kota lainnya.
SAF berdasarkan tugas konstitusionalnya, bertanggung jawab secara nasional menjaga keamanan dan stabilitas di negara tersebut. Dengan begitu, SAF tidak memiliki pilihan selain membalas serangan tersebut dan mendesak keluar RSF dari semua kampnya di negara tersebut, setelah menghancurkan markas besar mereka.
Sekarang ini, RSF telah diusir dari markas SAF dan sekitarnya. Namun ada beberapa lokasi sensitif yang coba dikuasai RSF seperti Istana Repuplik Sudan, Bandara Internasional Khartoum, Radio Nasional dan Televisi Nasional. Ironisnya, semua lokasi ini dulunya dijaga bersama oleh pasukan SAF dan RSF.
RSF juga telah mengerahkan lebih dari empat puluh ribu pasukannya di ibu kota, dengan mobil SUV bersenjata lengkap mereka. Sekarang telah dipastikan setelah penghancuran semua sumber dukungan logistik dasar mereka, 85 persen pasukan RSF menyerah, melarikan diri atau dibunuh oleh tentara Sudan.
Oleh karena itu berdasarkan fakta tersebut, Mohamed Ali menilai tidak benar jika perang ini digambarkan sebagai perang saudara karena beberapa orang salah melihatnya. Ini lebih merupakan tindakan yang tak terhindarkan oleh SAF terhadap kelompok pemberontak bersenjata, yang memiliki upaya kudeta untuk merebut kekuasaan, dan mencoba membunuh kepala negara serta mengendalikan semua lokasi strategis di Khartoum (yang populasinya hampir 8 juta jiwa).
Serangan ofensif ini diduga direncanakan, dipersiapkan dan diatur dengan baik, tidak hanya oleh RSF yang memberontak, tetapi juga didukungan unsur asing, dalam konspirasi besar untuk mengepung kekuasaan dengan paksa di Sudan.
Kelompok RSF sekarang sudah kehilangan kekuasaan di beberapa lokasi, bahkan berada di posisi yang sangat putus asa. Akibatnya, mereka cenderung memperburuk situasi kemanusiaan, melalui taktik jahat, dengan menargetkan beberapa fasilitas dasar di ibu kota. Akibatnya, 69 persen rumah sakit tidak berfungsi, staf medis dievakuasi secara paksa, petugas di unit gawat darurat dan ambulans menjadi sasaran, di mana 19 tenaga kesehatan tewas - 9 di antaranya diculik. Bukan hanya itu, sejumlah apotek dijarah.
Beberapa rumah sakit dilaporkan digunakan oleh kelompok pemberontak sebagai pangkalan militer, setelah mengevakuasi paksa semua pasien, termasuk mereka yang berada dalam posisi kritis.
Karena pasokan kebutuhan dasar RSF tidak mencukupi, mereka menggeledah puluhan supermarket dan toko kelontong di sekitar Khartoum.
Pemberontakan melanggar gencatan senjata kemanusiaan sebanyak enam kali, dan sejumlah tempat diplomatik telah dilanggar, seperti kedutaan besar Uni Eropa, India, Indonesia, Malaysia, dan jalur diplomatik milik Kedutaan Besar Amerika Serikat. Pasukan pemberontak menjarah mobil CD kedutaan Indonesia, dan juga membunuh seorang atase administrasi kedutaan Mesir.
Dalam manifestasi lain, RSF diduga telah melakukan beberapa kekejaman. Salah satu yang terburuk di antaranya adalah merekrut anak-anak sebagai tentara. RSF dengan sumber dayanya yang besar, tidak pernah membangun satu sekolah pun di Darfur atau di mana pun di Sudan. Kelompok ini merekrut anak-anak dari keluarga miskin untuk didaftarkan sebagai tentara, yang merupakan pelanggaran mencolok terhadap HAM.
Kementerian Luar Negeri Sudan telah mengeluarkan beberapa kecaman atas pelanggaran mencolok pada misi diplomatik, personel dan propertinya oleh RSF. Selanjutnya, SAF menegaskan kembali bahwa dalam operasi melawan RSF, SAF berkomitmen keras melakukan semua pengamatan yang diperlukan demi meminimalkan korban sipil, hancurnya properti pribadi dan publik. Operasi militer untuk menyatakan Khartoum benar-benar bebas dari kendali RSF mungkin akan memakan waktu beberapa hari.
Sudan, dalam perjuangannya melawan pemberontakan ini, telah mendapat dukungan dari Liga Arab, yang mengutuk penyerangan terhadap warga sipil, misi diplomatik dan rumah sakit, dan meminta RSF untuk mengecualikan rumah sakit dari operasi militer mereka. Pada konteks yang sama, Uni Afrika secara samar-samar menggambarkan apa yang terjadi di Sudan adalah masalah internal dan harus ditangani tanpa intervensi asing. Semua mediasi dan dukungan kemanusiaan harus dikoordinasikan dengan pemerintah Sudan.
Pilihan Editor: Seorang Mahasiswa Indonesia di Sudan Tak Mau Dievakuasi , Mengapa?
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.