TEMPO.CO, Jakarta - Seorang perempuan asisten rumah tangga asal Indonesia mengalami penyiksaan dan tidak digaji selama enam bulan di Malaysia, kata Duta Besar RI di Kuala Lumpur, Hermono, Senin, 1 Mei 2023.
Ia mengatakan ART asal Banyuwangi, Jawa Timur itu mengadu kepadanya saat dijenguk di RS Kuala Lumpur pada Minggu, 30 April 2023, bahwa majikannya telah melakukan penyiksaan sejak September 2022.
Namun, WNI itu tidak bisa melaporkannya karena dilarang keluar rumah dan tidak diperbolehkan memegang alat komunikasi.
ART berusia 39 tahun itu mengalami luka bakar di bagian punggung dan lengan akibat disetrika dan disiram air panas. Bagian matanya pun terlihat hitam lebam akibat dipukul majikan.
Selain itu, gajinya pun tidak dibayar sejak pertama bekerja pada Maret 2022.
Karena tidak tahan ketika punggung dan lengannya disetrika, korban mengaku dia berteriak sekuat tenaga hingga teriakannya terdengar oleh tetangga majikannya. Teriakan itulah yang mengakhiri penderitaannya setelah sang tetangga melapor ke kepolisian setempat.
Hermono mengatakan pada 23 Maret 2023 Polisi Resort Brickfield menyelamatkan korban, yang kemudian dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Menurut polisi, majikan perempuan yang diduga menyiksanya sudah ditahan.
Menurut korban, penyiksaan yang dialaminya selalu dilakukan di depan majikan laki-laki dan anak-anak mereka, tetapi tidak ada yang mencegah kebrutalan majikan perempuan.
Hermono mengatakan saat menjenguk korban, ia dapat melihat jelas bekas-bekas luka di beberapa bagian tubuhnya.
Korban juga mengaku rambutnya yang semula panjang digunting paksa saat dia diseret ke kamar mandi.
Jika dibandingkan fotonya pada paspor dengan kondisinya yang sekarang diperkirakan berat badan korban turun sekitar 10 kilogram atau lebih, kata Hermono.
Hermono meminta Kepolisian Malaysia untuk menuntut pula majikan laki-laki yang membiarkan penyiksaan istrinya terhadap korban.
“Ini penting untuk memberi efek jera kepada majikan yang kejam. Tanpa penegakan hukum yang tegas, kekerasan dan eksploitasi terhadap PRT Indonesia akan terus terjadi,” kata dia.
Hermono, yang telah menjabat sebagai dubes selama 2,5 tahun itu, mengaku heran mengapa kekerasan dan eksploitasi terhadap ART asal Indonesia terus terjadi.
Hampir setiap hari KBRI Kuala Lumpur menerima laporan terjadinya perlakuan tidak manusiawi terhadap ART Indonesia, sementara hampir tidak pernah terdengar perlakuan serupa dialami oleh pekerja dari negara lain.
Rumah penampungan (shelter) KBRI selalu penuh oleh pekerja migran Indonesia yang meminta pelindungan.
Sebagian besar kasus yang dialami oleh pekerja migran Indonesia adalah gaji yang tidak dibayar. Menurut Hermono, beberapa pekerja tidak dibayar gajinya lebih dari 10 tahun, padahal majikan mereka orang berada.
Dia mengatakan akar masalahnya bisa jadi karena adanya semacam sikap merendahkan (superiority complex) sebagian orang Malaysia terhadap pekerja asal Indonesoia dan tidak takut pada konsekuensi hukum.
“Saya rasa ini harus menjadi perhatian serius keberlanjutan pengiriman ART ke Malaysia,” katanya.
Menurut Hermono, korban berangkat ke Malaysia untuk menjadi ART ketika Indonesia belum membuka pengiriman pekerja migran akibat pandemi COVID-19 dan Malaysia pun belum membuka masuknya pekerja asing.
“Artinya, pemberangkatannya ke Malaysia adalah tidak resmi dan pemberangkatan non-prosedural ini masih terus terjadi hingga saat ini,” ujar Hermono.
Dia memastikan bahwa KBRI Kuala Lumpur akan memonitor secara ketat penanganan kasus itu oleh penegak hukum Malaysia untuk memastikan pelaku penyiksaan dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
ANTARA
Pilihan Editor Menlu Retno: 829 WNI dari Sudan telah Dievakuasi ke Indonesia