TEMPO Interaktif, Nairobi: Para perompak Somalia, yang gemar menyandera para pelaut dunia termasuk dari Indonesia untuk meminta tebusan, bisa berlagak seperti raja saat mereka berada di daratan.
Di perkampungan nelayan miskin, tempat mereka berasal, para perompak itu membangun rumah gedong, menikahi gadis-gadis tercantik, membuka bisnis menengah, dan kemana-mana membawa mobil gagah mahal seperti Toyota Land Cruiser.
Para pemuda yang tidak mau terjun ke dunia perompakan yang haram, kadang terpaksa tersingkir. Ini seperti nasib Ilka Ase Mohamed, pemuda dari kota nelayan kecil Harardhere yang menjadi salah satu pangkalan para perompak.
Pemuda ini berpacaran dengan gadis cantik Fatima Mukhtar. Mereka sudah berencana untuk meninggalkan kota nelayan kecil Harardhere dan kuliah. Jika Ilka sudah sudah memiliki banyak sapi untuk mas kawin, mereka akan menikah.
Setahun silam, seorang pemuda yang mengenakan topi koboi dan mengendarai sebuah Toyota Land Cruiser--yang harga di Indonesia mencapai Rp 1,4 miliar--merebut kekasihnya dengan cara sangat sederhana. Ia memberi uang kepada ibu si pacar sebesar US$50 ribu (sekitar setengah miliar rupiah).
Setelah memberi uang, si perompak mengirim orang untuk menggelar karpet, menyiapkan kambing untuk dipotong, dan memasan lampu listrik. Yang mengejutkan, si perompak itu tidak melepas sepatu saat duduk di karpet. Di Somalia, ini tanda ketidaksopanan.
Dalam beberapa pekan, Fatima menikah dengan perompak dan piknik ke Eropa. Rumah keluarga Fatima direhap menjadi sebuah gedong. Dulu mereka hanya hidup dari bertani, sekarang membuka usaha transportasi, mengangkut bensin dan beras dari ibu kota Mogadhisu ke wilayah-wilayah lain.
Ilka tentu saja jengkel. Bukan cuma karena pacarnya direbut tapi juga bagaimana lingkungan menghormati si pemuda saingannya yang kurang ajar itu tapi kaya raya dan bersenjata itu. "Anda tahu, itu uang hasil merompak," kata Ilka yang sekarang terpaksa menyingkir ke Kenya.
Pemuda perompak itu kaya raya karena uang tebusan yang dituntut para perompak itu, tahun lalu saja, mencapai US$50 juta (setengah triliun rupiah).
Uang yang gampang didapat itu memikat para pemuda. "Anak-anak muda itu tidak bisa mendapatkan pekerjaan dan tidak memiliki pendidikan," kata Salim Saeed, seorang wartawan yang bekerja di wilayah Puntland, kawasan yang banyak menghasilkan para perompak. "Mudah bagi para pemuda itu untuk menjadi seorang perompak."
Pemerintah Somalia tidak bisa berbuat banyak. Mereka masih asyik bertempur melawan gerilyawan Islam garis keras.
Uang itu tidak hanya dihabiskan sendiri. Mereka membuat jaringan agar perompakan berjalan baik. Jaringan pendukung ini akan memasok makanan, senjata, dan perlengkapan lain.
Para perompak biasa bermarkas di "kapal induk". Kapal ini biasanya perahu nelayan yang mereka dapat lewat perompakan. Dari perahu ini, mereka mendapat bantuan jadwal kapal kargo yang bakal lewat.
Di daratan, para perompak itu dikelilingi pelacur, paramedis, pengawal pribadi, dan pengedar khat--semacam narkoba ringan. Atau, mungkin melamar gadis cantik seperti Fatima.
WASHINGTON POST/NURKHOIRI