TEMPO.CO, Jakarta - Keluarga 20 warga negara Indonesia yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang didampingi Tim Advokasi Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Serikat Buruh Migran Indonesia melaporkan kasus tersebut ke Komnas HAM, Jumat, 31 Maret 2023.
Dalam pernyataan pers yang diterima Tempo, Jumat, SBMI menyatakan kedua puluh korban ini awalnya diiming-imingi pekerjaan sebagai operator komputer di salah satu bursa saham di Thailand oleh perekrut dengan gaji yang dijanjikan senilai 8-10 juta per bulan. Dengan gaji sebesar itu, mereka bekerja selama 12 jam kerja per hari. Mereka juga dijanjikan mendapatkan makan sebanyak 4 kali sehari serta fasilitas tempat tinggal secara gratis.
Kenyataannya, setiba di Bangkok, mereka langsung dibawa ke perbatasan Thailand dan Myanmar. Di tempat itu, mereka dibawa pergi dengan kawalan dua orang bersenjata dan berseragam militer. Mereka dipaksa bekerja mulai dari pukul 8 malam hingga pukul 1 siang. Tugas mereka adalah mencari kontak-kontak sasaran untuk ditipu melalui website atau aplikasi Crypto sesuai dengan target perusahaan.
Apabila tidak mencapai target, para korban mendapatkan hukuman fisik seperti push-up, lari, dan squat jump hingga hukuman pemukulan dan penyetruman. Para korban tidak digaji bahkan harus menombok untuk membayar denda yang ditetapkan perusahaan.
Penyekapan para korban oleh perusahaan yang dijaga ketat oleh orang-orang bersenjata dan berseragam militer di area perusahaan. Kemudian HP milik para korban juga disita oleh pihak perusahaan dengan tujuan pembatasan akses komunikasi. Kedua puluh korban meminta dipulangkan tetapi pihak perusahaan memaksa korban untuk membayar denda sebanyak 75.000 Yuan China sehingga para korban terpaksa untuk tetap bekerja.
Menurut SBMI, kasus ini telah memenuhi tiga unsur perdagangan orang dilihat dari proses, cara, dan tujuan untuk dieksploitasi seperti dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno menegaskan kembali konsensus ASEAN dalam Deklarasi Cebu bahwa Negara Asal dan Negara Tujuan akan bekerja sama dan berkoordinasi untuk memberi bantuan korban TPPO dan pekerja migran yang terjebak dalam situasi dan kondisi konflik.
“Melihat maraknya permasalahan penipuan online yang terjadi di Myanmar karena situasi krisis, kita harus menyikapi kasus ini secara darurat. Dari dua instrumen dan kebijakan ini, tidak ada alasan lagi bagi negara untuk tidak memulangkan para korban,” kata Hariyanto.
Sementara itu, Komisioner Pemajuan HAM Komnas HAM, Anis Hidayah menyampaikan bahwa Komnas HAM telah menerima pengaduan korban TPPO ke negara Myanmar sejak Desember 2022.
“Kami memahami bahwa situasi ini darurat. Komnas HAM akan segera kembali berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri untuk segera mengevakuasi WNI yang disekap, dan berkoordinasi dengan Kepolisian agar segera menangkap pelaku yang ada di Indonesia, terutama memenuhi hak-hak WNI ketika sampai di Indonesia” tegas Anies Hidayah.
Pilihan Editor: Upaya Terakhir Najib Razak untuk Peninjauan Hukuman Korupsi Ditolak