Permohonan untuk protes-protes lain, termasuk penyalaan lilin pada 4 Juni untuk mengenang korban tindak kekerasan di Lapangan Tiananmen China pada 1989, telah ditolak dengan alasan jaga jarak terkait Covid.
Pembatasan COVID terakhir Hong Kong dihapus tahun ini, menyusul keputusan China untuk mengakhiri kebijakan "nol-COVID" -nya. Sementara itu, konstitusi mini Hong Kong, Undang-Undang Dasar, menjamin hak untuk berkumpul di tempat umum.
Sejak undang-undang keamanan nasional yang diberlakukan China, pada Juni 2020 sebagai tanggapan atas protes pro-demokrasi yang berlarut-larut pada 2019, pihak berwenang telah membatasi kebebasan dan menangkap sejumlah politisi dan aktivis oposisi.
Beberapa pemerintah Barat mengkritik undang-undang tersebut sebagai alat represi tetapi pihak berwenang China mengatakan undang-undang tersebut telah memulihkan stabilitas di pusat keuangan tersebut.
Seorang pengunjuk rasa bermarga Chiu, 50, mengatakan dia menghargai kesempatan untuk memprotes "di masa-masa sulit", dan mengatakan dia melihat lanyard lebih sebagai sarana untuk memfasilitasi manajemen massa.
"Itu tidak berarti membatasi ekspresi kami. Saya pikir itu dapat diterima," katanya kepada Reuters.
Bulan ini, kelompok HAM perempuan membatalkan unjuk rasa di menit-menit terakhir setelah juru bicara polisi mengatakan beberapa “kelompok kekerasan” yang tidak disebut secara khusus kemungkinan bergabung.
Pengamat politik dan beberapa diplomat Barat mengawasi untuk melihat apakah pihak berwenang akan mengizinkan dimulainya kembali demonstrasi besar di Hong Kong, yaitu pada 4 Juni dan 1 Juli, yang telah menjadi andalan masyarakat sipil kota yang pernah penuh semangat dan menarik ribuan orang.
REUTERS
Pilihan Editor: Pilpres AS: Donald Trump Tuding Penegakan Hukum Biden Mirip Stalin