TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat mengeluarkan ‘2022 Country Reports on Human Rights Practices’ yang mencakup 198 negara dan wilayah yang menerima bantuan. Itu juga termasuk semua negara anggota PBB sampai Kongres AS sesuai dengan Undang-Undang Bantuan Asing tahun 1961 dan Undang-Undang Perdagangan tahun 1974.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken saat memberikan pengarahan di Washington pada Senin mengatakan laporan tersebut memperjelas bahwa, pada 2022, di negara-negara di setiap kawasan, Washington terus melihat kemunduran dalam kondisi hak asasi manusia – penutupan ruang sipil, hingga tidak menghormati martabat manusia yang mendasar.
“Tujuan laporan ini bukan untuk menguliahi atau mempermalukan. Sebaliknya, itu untuk menyediakan sumber daya bagi individu-individu yang bekerja di seluruh dunia untuk menjaga dan menjunjung tinggi martabat manusia ketika berada di bawah ancaman dalam banyak hal,” kata Blinken.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah belum membalas pesan Tempo yang dikirim melalui pesan singkat, ihwal laporan yang dikeluarkan Washington ini.
Dalam rangkumannya, laporan terkait HAM Indonesia yang dibuat AS mengangkat masalah hak asasi manusia signifikan lain seperti pembatasan serius terhadap kebebasan berekspresi dan media, termasuk penangkapan atau penuntutan jurnalis yang tidak dapat dibenarkan, penyensoran, dan penggunaan undang-undang pencemaran nama baik.
Kejahatan yang melibatkan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menargetkan anggota kelompok minoritas ras, etnis, dan agama; hingga kejahatan yang melibatkan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang-orang lesbian, gay, biseksual, transgender, queer, atau interseks juga menjadi perhatian.
Dalam catatannya soal rekam jejak HAM Indonesia selama 2022, AS menyoroti kasus pembunuhan berencana yang didalangi oleh Ferdy Sambo, tragedi Kanjuruhan, hingga konflik bersenjata dengan separatis di Papua.
Menurut laporan itu, dalam kasus dugaan pembunuhan di luar proses hukum oleh pejabat pemerintah, polisi dan militer seringkali tidak melakukan investigasi. Ketika mereka melakukannya, mereka gagal mengungkapkan temuan investigasi internal tersebut.
Catatan itu merujuk pada Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), yang menghitung 16 kematian dalam 50 kasus dugaan penyiksaan dan penganiayaan lain oleh aparat keamanan yang diselidikinya dari Mei 2021 hingga Juni 2022.