TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan tinggi Tokyo, Jepang pada Senin memerintahkan pengadilan ulang untuk mantan petinju berusia 87 tahun yang telah menunggu hukuman mati selama lebih dari lima dekade. Seperti dilansir WFTV9, putusan ini muncul setelah diyakini kasus pembunuhan yang dituduhkan kepada Iwao Hakamada pada 57 tahun silam didasarkan pada pengakuan paksa dan bukti palsu.
Pengadilan Tinggi Tokyo mengatakan Hakamada pantas diadili ulang karena kemungkinan bukti kunci yang mengarah pada vonis matinya bisa saja direkayasa oleh penyelidik, menurut pernyataan dari Asosiasi Pengacara Jepang.
Amnesty International mengatakan Hakamada adalah tahanan terpidana mati terlama di dunia.
Dia telah dibebaskan sementara sejak 2014, tetapi masih belum dibebaskan dari tuduhan, ketika Pengadilan Distrik Shizuoka di Jepang tengah menangguhkan eksekusinya dan memerintahkan pengadilan ulang.
Putusan itu dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Tokyo hingga Mahkamah Agung pada 2020 dan memerintahkan pengadilan yang lebih rendah untuk mempertimbangkan kembali.
Pengacara pembelanya bergegas keluar dari ruang sidang dan memasang spanduk bertuliskan "Persidangan Ulang".
“Kami memenangkan sidang ulangnya. Saya sangat senang, dan hanya itu yang bisa saya katakan,” kata saudarinya yang berusia 90 tahun, Hideko, yang telah mengabdikan hidupnya untuk membuktikan bahwa adiknya tidak bersalah.
Hakamada dihukum pada 1966 atas pembunuhan seorang manajer perusahaan dan tiga anggota keluarganya dan membakar rumah mereka di Jepang tengah, tempat dia menjadi karyawan tetap. Dia dijatuhi hukuman mati dua tahun kemudian. Dia awalnya membantah tuduhan itu kemudian mengaku. Namun, dia mengatakan pengakuannya terpaksa karena interogasi yang kejam oleh polisi.
Hakamada tidak dieksekusi karena banding yang panjang dan proses persidangan ulang. Butuh 27 tahun bagi Mahkamah Agung untuk menolak banding pertamanya untuk persidangan ulang. Dia mengajukan banding kedua pada 2008, dan pengadilan akhirnya memenangkannya pada Kamis pekan lalu.
Masalah yang diperdebatkan adalah lima potong pakaian berlumuran darah. Menurut para penyelidik pakaian itu diduga dikenakan Hakamada selama kejahatan. Pakaian itu disembunyikan di dalam tangki pasta kedelai yang difermentasi, atau miso, yang ditemukan lebih dari setahun setelah penangkapannya.
Keputusan Pengadilan Tinggi Tokyo pada Senin mengakui eksperimen ilmiah bahwa pakaian yang direndam dalam miso selama lebih dari setahun ternyata terlalu gelap melihat noda darah. Pengadilan mengatakan ada kemungkinan bukti itu dibuat-buat, kemungkinan besar oleh penyelidik.
Pengacara pembela dan keputusan pengadilan ulang sebelumnya mengatakan sampel darah tidak cocok dengan DNA Hakamada, dan celana panjang yang diajukan jaksa sebagai bukti terlalu kecil untuk Hakamada dan tidak pas saat diadili.
Hakamada telah menjalani hukumannya di rumah sejak dibebaskan pada 2014 karena kesehatan dan usianya membuatnya lemah dan berisiko rendah untuk melarikan diri.
Jepang dan Amerika Serikat adalah dua negara di Kelompok Tujuh negara maju yang mempertahankan hukuman mati. Sebuah survei oleh pemerintah Jepang menunjukkan mayoritas eksekusi dukungan publik.
Eksekusi dilakukan secara rahasia di Jepang dan para tahanan tidak diberitahu tentang nasib mereka sampai pagi hari mereka digantung. Sejak 2007, Jepang telah mulai mengungkapkan nama-nama mereka yang dieksekusi dan beberapa detail kejahatan mereka, tetapi pengungkapannya masih terbatas.
Pendukung mengatakan kesehatan mental Hakamada telah menurun karena hampir setengah abad penahanannya, kebanyakan di sel isolasi dan takut akan eksekusi. Dia menghabiskan total 48 tahun di penjara.
Pilihan Editor: Jepang Eksekusi Mati Pelaku Pembantaian Akibahara
WFTV9