TEMPO.CO, Jakarta -Sikap warga Israel terpecah tentang reformasi peradilan yang diusulkan pemerintah. Reformasi tersebut jika disahkan akan menjadi perubahan paling radikal yang pernah terjadi dalam sistem yudikatif Israel, termasuk membatasi kekuasaan Mahkamah Agung dan memberi kewenangan kepada pemerintah untuk memilih hakim.
Setelah lebih dari tiga dekade sebagai cadangan di militer Israel, Shraga Tichover yang merupakan penerjun payung itu menolak mempertaruhkan nyawanya untuk sebuah negara yang tergelincir ke arah otokrasi.
Tichover adalah bagian dari gelombang oposisi yang belum pernah terjadi sebelumnya dari dalam jajaran militer Israel terhadap rencana pemerintah yang kontroversial untuk merombak peradilan. Seperti Tichover, beberapa cadangan menolak untuk bertugas dan mantan komandan membela tindakan mereka sebagai tanggapan alami terhadap perubahan yang akan datang.
"Nilai-nilai negara ini akan berubah. Saya tidak dapat melayani militer negara yang bukan demokrasi," kata Tichover, seorang relawan cadangan berusia 53 tahun yang pernah bertugas di Lebanon selatan, Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Pembicaraan yang biasanya tabu tentang menentang perintah militer menggarisbawahi seberapa dalam rencana perombakan tersebut telah memecah belah Israel.
Dalam sebuah deklarasi yang mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh negeri, 37 dari 40 pilot pesawat tempur cadangan mengatakan mereka tidak akan muncul untuk pelatihan pada Rabu sebagai protes.
Para penerbang dipandang sebagai personel terbaik militer dan elemen tak tergantikan dari banyak rencana pertempuran Israel.
Setelah permohonan dari pejabat tinggi, pilot mengumumkan bahwa mereka akan datang ke pangkalan mereka – tetapi hanya untuk berdialog dengan komandan mereka, lapor media Israel. "Kami memiliki kepercayaan penuh pada komandan kami," laporan tersebut mengutip pernyataan pilot dalam sebuah surat.
Namun, beberapa warga seperti Bechor Israel, seorang penduduk di permukiman Yahudi ilegal Pisgat Ze’ev di Yerusalem Timur, menunjukkan dukungannya kepada pemerintah. “Pemerintah kami harus lebih kuat dan tidak takut pada dunia luar,” kata Israel, 29 tahun.
Ketika ditanya kekhawatiran soal masa depan Israel jika amendemen tersebut disahkan, dia berkata, "Saya percaya Tuhan dan meyakini-Nya, dan saya tahu bahwa sesuatu yang sudah digariskan akan terjadi, pasti terjadi, dan saya bahagia (meyakini hal itu)."
Sementara Moshe Sachs, seorang Yahudi Amerika yang sedang belajar di Yeshiva di Yerusalem Barat, mengatakan diperlukan mayoritas suara yang sangat besar untuk meloloskan undang-undang perubahan sistem peradilan di Mahkamah Agung.
"Mayoritas kecil saja, seperti 64 suara, tidak cukup untuk meloloskannya, menurut saya," kata dia.
Elad Shmuel dari Yerusalem Barat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pemimpin oposisi, termasuk Ketua Yesh Atid, Yair Lapid, dan mantan Menteri Pertahanan Benny Gantz, yang memimpin aksi protes.
“Lapid dan Gantz ingin menghancurkan negara Israel. Mereka tidak menginginkan negara Yahudi atau apa pun yang berkaitan dengan Yudaisme, menurut saya mereka jahat,” kata dia.
Selama lebih dari dua bulan, puluhan ribu warga Israel menggelar aksi protes menentang perubahan sistem peradilan yang akan membatasi kekuasaan pengadilan. Mereka juga menentang kebijakan sayap kanan Netanyahu.
Netanyahu, seorang mantan tentara di unit elit, dan pemerintahannya mendorong rencana untuk melemahkan Mahkamah Agung dan membatasi independensi peradilan.
Sekutunya mengatakan perubahan itu dimaksudkan untuk merampingkan pemerintahan, sementara para kritikus mengatakan rencana itu akan merusak sistem check and balances Israel dan menggeser negara itu ke arah otoritarianisme.
Mereka juga menuding Netanyahu, yang diadili karena korupsi, dimotivasi oleh dendam pribadi dan memiliki konflik kepentingan.
Pilihan Editor: Undang-undang Reformasi Peradilan Israel Jalan Terus
ANADOLU | VOA NEWS (Fatima Asni Soares)