Bencana ini telah menambah penderitaan di sebuah negara di mana ratusan ribu orang telah terbunuh dalam sebuah konflik yang dimulai pada 2011 ketika protes-protes terhadap kekuasaan Presiden Bashar al-Assad berhadapan dengan tindak kekerasan yang mematikan.
“Ini adalah hal terakhir yang dibutuhkan negeri ini. Ini sebuah negeri yang dihuni oleh kematian,” kata Hassan Hussein, dari kota pantai dan benteng pertahanan pemerintah, Tartous.
Dengan jutaan orang tercerabut akibat perang, PBB mengatakan kebutuhan kemanusiaan saat ini lebih besar dari sebelumnya, meskipun garis depan utama telah membeku selama beberapa tahun. Dengan diplomasi yang didukung PBB yang tidak bergerak ke mana-mana, Suriah tetap terbelah dua.
Di kota yang dikuasai pemberontak, Atareb, Yousef Haboush meratapi bagaimana gempa telah memaksa banyak warga pergi dari rumah mereka lagi.
“Mengungsi dari kota-kota kami dan setelah akhirnya kami menemukan rumah di sana, kini ada lagi pengungsian,” kata Haboush, yang pergi dari Damaskus di puncak konflik.
Orang-orang di seluruh Suriah menghadapi ancaman bersama lainnya pada saat ini: wabah kolera yang berkembang pesat dalam kehancuran yang ditimbulkan konflik.
Di pegunungan di atas Latakia dekan kampung halaman Assad, warga mengatakan beberapa bangunan runtuh dan ada banyak yang mati. Pasukan Rusia, pertahanan sipil dan pasukan pemerintah bahu membahu dalam upaya bantuan cepat, kata dua warga.
Seorang warga, Abu Hamid, mengatakan ia merasakan “kedekatan” dengan warga Suriah lain, termasuk yang berada di wilayah pemberontakan. "Ini mungkin terjadi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama,” katanya. “Gempa bumi tidak mendiskriminasi.”
REUTERS
Pilihan Editor: Iran Pamerkan Pangkalan Udara Bawah Tanah, Persiapan Hadapi Serangan Israel