TEMPO.CO, Jakarta - Kematian mantan Presiden Pakistan Pervez Musharraf di Dubai, Minggu, 5 Februari, dari penyakit organ langka yang disebut amiloidosis menandai akhir dari perjalanan naik-turun dan kerap tidak masuk akal, bertransisi dari jenderal bintang empat menjadi diktator militer menjadi calon negarawan menjadi paria yang diadili sebagai pengkhianat.
Baca Juga: Mantan Presiden Pakistan Pervez Musharraf Meninggal di Dubai
Musharraf, yang memimpin negara itu selama hampir sembilan tahun (1999-2008), ditunjuk oleh mantan PM Nawaz Sharif sebagai panglima angkatan darat hanya setahun sebelum ia melakukan kudeta militer untuk menggulingkan pemerintahan terpilih. Ironisnya, Musharraf menggantikan Jenderal Jehangir Karamat, yang mundur sebagai panglima militer hanya dua hari setelah menyerukan agar militer diberi peran kunci dalam proses pembuatan keputusan. Pada saat itu banyak yang menganggap kepergian Jenderal Karamat sebagai pertanda bagi kekuatan polisik Sharif yang kian meningkat atas kemapanan militer yang sangat berpengaruh di negeri itu.
Serangan teror 9/11 di Amerika Serikat terjadi beberapa bulan setelah Musharraf menjadi presiden akan menjadi momen menentukan bagi masa jabatannya, berkat kejatuhan di negerinya. Ia hanya memiiki sedikit pilihan untuk masuk ke dalam aliansi AS untuk perang atas terorisme kemudian setelah pemerintahan George W. Bush pada masa itu mengirim pesan yang tegas: “Anda bersama kami atau melawan kami.”
Pada Oktober 2002, sebuah koalisi pro-Musharraf memenangi mayoritas kursi parlemen dalam pemilu dan, dua tahun kemudian, ia membuat kesepakatan dengan koalisi partai-partai Islam yang melegitimasi kudetanya pada 1999 dan mengizinkannya untuk tetapi berada di ketentaraan dan sekaligus mempertahankan jabatan presiden.
Dia melakukan penarikan investasi asing ke Pakistan, demi perkembangan ekonomi selama 30 tahun menjabat, dan dia menikmati dukungan dari militer dan Pakistan yang mendukung tindakan kerasnya terhadap kelompok militan.
Tetapi selama pemerintahannya ada juga kerusakan yang disebabkan oleh pendekatan terhadap perbedaan pendapat, termasuk menangkap saingannya seperti perdana menteri Sharif dan memberlakukan keadaan darurat selama hampir enam minggu di mana dia menangguhkan konstitusi dan menyensor undang-undang tersebut.
"Pada awalnya dia gagal membangun popularitas untuk menghasilkan reformasi ekonomi dan politik yang berkelanjutan dan menjadi tawanan kekuatan militer dan kepentingan pribadi," kata Shuja Nawaz, penulis beberapa buku tentang militer Pakistan dan seorang peneliti di Dewan pemikir Atlantik AS.