TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Luar Negeri dari negara-negara Asia tenggara akan bertemu dalam dialog dua hari di Jakarta mulai Jumat, 3 Februari 2023. Pertemuan The ASEAN Foreign Ministers' (AMM) Retreat yang pertama di bawah keketuaan Indonesia itu dibayangi dua tahun kudeta militer Myanmar.
Baca: Amerika Serikat Akan Setop Bantuan Militer Rusia ke Myanmar
AMM Retreat hari ini dimulai dengan ASEAN Coordinating Council ke-32. Dalam rapat di Sekretariat ASEAN itu, akan dibahas beberapa agenda, termasuk di antaranya prioritas keketuaan Indonesia dan tindak lanjut hasil KTT ASEAN ke-40 dan 41 pada 2022. Kementerian Luar Negeri RI dalam keterangan tertulis menyebut pejabat senior regional telah bertemu pada Kamis, 2 Februari 2023, tanpa merinci agendanya.
Pengamat melihat isu Myanmar menjadi salah satu tantangan bagi keketuaan Indonesia di ASEAN. Myanmar dilanda krisis kemanusiaan akibat kemelut politik sejak junta militer menggulingkan pemerintah sipil terpilih yang dipimpin oleh peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi pada Februari 2021.
Junta Myanmar baru saja memperpanjang keadaan darurat di negara itu selama enam bulan ke depan. Sebelumnya dalam pertemuan yang digelar dengan Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (NDSC) pada Selasa, 31 Januari 2023, Pemimpin junta Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan pemilihan multi-partai harus diselenggarakan "sesuai keinginan rakyat".
Di sisi lain, pengunjuk rasa menandai peringatan kudeta militer dengan "protes diam". Pemimpin sipil yang diasingkan pada Rabu, 1 Februari 2023, berjanji untuk mengakhiri apa yang mereka sebut perebutan kekuasaan ilegal oleh tentara. Di kota-kota besar di seluruh Myanmar, jalan-jalan dikosongkan saat orang-orang diam di rumah sebagai protes. Sementara ratusan pendukung demokrasi menghadiri aksi unjuk rasa di Thailand dan Filipina.
Peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dewi Fortuna Anwar, dalam sebuah diskusi mengatakan, akan banyak harapan baik secara domestik atau internasional soal langkah yang diambil Indonesia dalam menangani krisis di Myanmar ini. Apa yang dilakukan atau tidak diambil ASEAN dalam menangani Myanmar akan menjadi ujian bagi kredibilitas blok itu.
"Ada banyak cara dalam menangani kasus ini. Indonesia harus mengambil langkah dengan hati-hati. Apa yang dilakukan atas Myanmar akan menetapkan institusi ASEAN," kata Dewi saat berbicara dalam forum think-tank Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Jakarta pada Selasa, 31 Januari 2023.
Dewi mencatat, dalam menangani situasi Myanmar ini, piagam ASEAN mungkin perlu ditinjau ulang. Sebab, menurut Dewi, itu tidak memiliki bahasa yang cukup dalam menyelesaikan kasus anggota yang bermasalah seperti Myanmar.
ASEAN juga dinilai perlu punya mekanisme yang jelas mengenai utusan khusus untuk Myanmar. Dewi mengatakan, blok dan mitra wicaranya perlu berada dalam kesepahaman yang sama ihwal masalah ini.
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, dalam beberapa kesempatan menegaskan, krisis yang terjadi di Myanmar tidak akan menghalangi pertumbuhan ASEAN. Indonesia, menurut Retno, akan terus mendorong perdamaian di Myanmar.
Retno dan Kementerian Luar Negeri belum pernah secara terang-terangan membeberkan apa yang akan menjadi strategi khusus dalam mengupayakan perdamaian di Myanmar itu. Namun Indonesia masih akan bertahan dengan pendekatan lima butir konsensus dalam menangani isu Myanmar.
Konsensus dibuat oleh para pemimpin negara-negara anggota blok Asia tenggara pada April 2021, dengan lima poin yakni dialog konstruktif, penghentian kekerasan, mediasi antara berbagai pihak, pemberian bantuan kemanusiaan, dan pengiriman utusan khusus ke Myanmar. Kelompok sipil di Myanmar dan para analis menilai pendekatan itu gagal sebab Tatmadaw masih melanggengkan kekerasan.
Baru-baru ini, Presiden RI Joko Widodo dalam wawancara dengan Reuters mengatakan Indonesia akan mengirim jenderal ke Myanmar, untuk berdialog dengan junta soal transisi demokrasi. Indonesia disebutnya punya latar belakang yang tidak jauh berbeda dengan Myanmar.
Jokowi belum mengungkap siapa sosok petinggi militer yang akan dikirim. Saat dihubungi Tempo pada Kamis, 2 Februari 2023, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) untuk urusan HAM dan Luar Negeri Siti Ruhaini Dzuhayatin mengatakan, rencana itu masih dalam koordinasi.
Siti menyatakan, KSP memandang keketuaan Indonesia mampu mengakselerasi implementasi konsensus soal Myanmar. "Penunjukkan jenderal dimaksud merupakan bagian dari mandat keketuaan Indonesia dalam implementasi konsensus tersebut," katanya.
Simak: Kirim Jenderal ke Myanmar, Jokowi: Untuk Bicara dengan Junta