TEMPO Interaktif, Jakarta: Pelantikan Najib Razak sebagai perdana menteri Malaysia membuat skandal penembakan model asal Mongolia menjadi sorotan kembali. Versi "resmi" yang menyatakan kasus ini sekedar pembunuhan bekas istri simpanan, dibantah koran Prancis yang menyebutkan kasus pembagian komisi penjualan kapal selam.
Najib sudah dibebaskan oleh pengadilan atas kasus yang membuat dua polisi terancam hukuman gantung itu. Tapi tiba-tiba saja harian Prancis, Libération, menyatakan bahwa pembunuhan model berusia 28 tahun itu, Altantuya Shariibuu, terkait penjualan tiga kapal selam buatan negara Eropa itu.
Baca Juga:
Mendiang Altantuya, yang besar di St. Petersburg, tidak hanya cantik. Ia juga pintar. Ia fasih bercakap-cakap dalam bahasa Cina, Korea, Inggris, dan Rusia selain bahasa ibunya, Mongolia.
Ia menjadi perempuan simpanan Abdul Razak Baginda, tangan kanan Najib yang pada 2006 menjadi menteri pertahanan, selama setahun. Dalam pengadilan, Abdul Razak mengatakan Altantuya menuntut uang dari bekas kekasih gelapnya itu setelah putus.
Menjelang kematian, begitu sidang pengadilan menyatakan, Altantuya datang ke Kuala Lumpur disertai seorang dukun Mongolia. Dukun ini akan memberi mantra kutukan jika Abdul Razak tidak memberi uang.
Baca Juga:
Di rumah Abdul Razak, Altantuya berteriak dan meracau di depan rumahnya. Begitu terus selama beberapa hari. Pada 18 Oktober 2006, Abdul Razak meminta bantuan Musa Safrie, Direktur Cabang Khusus Kepolisian Malaysia dan dekat dengan Najib Razak, untuk mengatasi Altantuya.
Safrie mengirim dua polisi elit, Azilah Hadri, 32 tahun, dan Sirul Azhar Umar, 36 tahun. Mereka ini adalah polisi yang ditugaskan untuk mengawal Najib Razak. Di sini skandal ini melebar ke perdana menteri baru Malaysia itu.
Dua polisi itu menarik Altantuya keluar pagar dan memasukkan dalam mobil. Mereka, dalam pengadilan, mengaku mendapat tugas "menetralkan perempuan Cina". Dua polisi ini menerjemahkan menetralkan dengan pembunuhan. Jadi, mereka membawa ke hutan di pinggir kota, menembaki beberapa kali, dan meledakkan dengan bom militer C4.
Persoalan menjadi panjang saat taksi yang disewa Altantuya belum dibayar. Tukang taksi itu mengeluh kepada polisi dan menyebut mobil yang dipakai dua petugas elit itu. Polisi lokal--yang tidak membayangkan kasusnya begitu besar--meneliti menemukan plat nomor dua petugas itu plat nomor pemerintah Malaysia.
Polisi Malaysia tidak bisa berbuat lain kecuali menangkap Abdul Razak. Beberapa jam sebelum ditangkap, Najib Razak sempat mengirim SMS kepada Abdul Razak. "Saya akan bertemu Inspektur Jenderal Polisi pada pukul 11 siang ini," tulis Najib. "Masalah akan dibereskan. Tenang saja."
Abdul Razak kemudian dilepas dari dakwaan karena tidak terbukti memerintahkan para pengawalnya membunuh Altantuya.
Pada pekan terakhir bulan lalu, koran Prancis, Libération, membantah versi Abdul Razak ini. Urusan uang yang diminta Altantuya bukan sekedar duit dari seorang perempuan simpanan. Tapi Altantuya menuntut pembagian komisi atas pembelian tiga kapal selam Prancis oleh Departemen Pertahanan Malaysia yang dipimpin oleh Najib.
Malaysia, pada 2002, membeli tiga kapal selam seharga 937 juta poundsterling (Rp 15,8 triliun) dari pabrik kapal perang Prancis, Armaris. Armaris kemudian memberi uang kepada sebuah perusahaan Malaysia, bernama Perimekar, sebesar 107 juta poundsterling (Rp 1,8 triliun).
Menurut Libération, Altantuya--yang keliling Prancis bersama Abdul Razak dalam sebuah Ferrari dan makan di restoran elit--mengetahui soal komisi ini. Jadi, Altantuya menuntut secuil komisi yakni US$500 ribu (Rp 5,7 miliar) dari Abdul Razak.
Jadi, ringkasnya, Altantuya dibunuh karena meminta jatah komisi penjualan kapal selam, bukan karena diputus dari posisi perempuan simpanan.
Dalam parlemen Malaysia, oposisi menuduh uang itu adalah komisi penjualan dan Perimekar secara diam-diam dimiliki oleh Abdul Razak Baginda. Tapi Najib menyatakan uang itu bukan komisi dan Perimekar ia sebut sebagai "penyedia layanan proyek".
Dalam politik Malaysia, oposisi gemar mengungkit kasus Altantuya dan pemerintah berusaha sebisa mungkin menutupinya. Saat pemilihan umum tahun lalu, oposisi bersemangat menggunakan isu ini. Hasilnya seperti kita tahu bersama, UMNO kehilangan begitu banyak kursi.
THE TIMES/PHILSTAR/MALAYSIA KINI/NURKHOIRI