TEMPO.CO, Jakarta - Kedutaan Besar China di Jakarta menjelaskan ihwal kapal-kapal penjaganya yang berlayar di sekitar Laut Natuna di wilayah RI. Kapal penjaga pantai China yaitu CCG 5901 telah berlayar di Laut Natuna, menurut Indonesian Ocean Justice Initiative.
Baca: Kapal Cina Berseliweran di Laut Natuna Utara, TNI AL Akan Bertindak Jika Ada Pelanggaran
Saat dihubungi Tempo, Senin, 16 Januari 2023, salah satu juru bicara Kedutaan China yang tak mau menyebutkan namanya itu mengatakan bahwa kapal penjaga pantai berlayar di wilayah laut yang memiliki yurisdiksi China. Wilayah laut itu sesuai dengan hukum domestik dan hukum internasional termasuk UNCLOS (Konvensi Hukum Laut PBB).
"Demi menjaga keamanan dan ketertiban di laut," kata dia saat dihubungi, Senin, 16 Januari 2023.
Indonesia sebelumnya mengerahkan kapal perang ke Laut Natuna Utara untuk memantau kapal penjaga pantai China yang disebut mondar-mandir di wilayah tersebut. Pada Sabtu, 14 Januari 2023, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Muhammad Ali, menyatakan sebuah kapal perang, pesawat patroli maritim, dan drone telah dikerahkan untuk memantau kapal penjaga pantai China.
Menurut Indonesian Ocean Justice Initiative kepada Reuters, data pelacakan kapal menunjukkan kapal, CCG 5901, telah berlayar di Laut Natuna, khususnya di dekat ladang gas Blok Tuna dan ladang minyak dan gas Chim Sao Vietnam sejak 30 Desember 2022.
"Kapal China itu tidak melakukan aktivitas yang mencurigakan. Namun perlu kita pantau karena sudah lama berada di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia," kata Muhammad Ali.
Dalam kesempatan yang sama, juru bicara kedutaan China menegaskan, China telah bekerja sama dengan Indonesia untuk mengelola perbedaan maritim. Pihaknya akan terus melakukan konsultasi dan dialog antara kedua negara.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah saat dikonfirmasi mengatakan bahwa keberadaan kapal China di ZEE dalam rangka kebebasan pelayaran (freedom of navigation). UNCLOS 1982 menjamin kebebasan pelayaran. "Sesuai dengan UNCLOS 1982, Indonesia tidak memiliki tumpang tindih klaim di wilayah ZEE dengan China," ujarnya melalui pesan singkat.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut memberikan hak navigasi kapal melalui ZEE. Hak navigasi dilakukan setelah adanya kesepakatan ZEE antara Indonesia dan Vietnam. Dalam konvensi itu juga disetujui bahwa Indonesia mengembangkan lapangan gas Tuna di Laut Natuna, dengan perkiraan total investasi lebih dari US$ 3 miliar hingga dimulainya produksi.
Pada 2021, kapal-kapal dari Indonesia dan China saling membayangi selama berbulan-bulan di dekat anjungan minyak submersible yang melakukan penilaian sumur di blok Tuna. Saat itu, China mendesak Indonesia untuk menghentikan pengeboran dengan mengatakan aktivitas tersebut terjadi di wilayahnya.
Indonesia menegaskan, bahwa di bawah UNCLOS, ujung selatan Laut China Selatan adalah zona ekonomi eksklusifnya, dan menamai wilayah itu sebagai Laut Natuna Utara pada 2017.
Namun China menolak. Beijing mengatakan bahwa wilayah maritim berada dalam klaim teritorialnya yang luas di Laut Cina Selatan yang ditandai dengan "garis sembilan putus" berbentuk U, sebuah batas yang ditemukan Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag tidak memiliki dasar hukum pada tahun 2016 .
Simak: Presiden Filipina Kunjungi China, Nelayan Berharap Dampak Positif di Laut Cina Selatan
DANIEL A. FAJRI | REUTERS