TEMPO.CO, Jakarta - China telah mengakhiri persyaratan karantina untuk pelancong yang datang dari luar negeri, meskipun sedang berjuang melawan lonjakan kasus COVID-19 secara nasional. Pencabutan aturan karantina menandai langkah terakhir dari kebijakan ketat "nol-COVID" China.
Baca juga: Turis China Tak Wajib Karantina, Thailand: Tidak Boleh Diskriminatif
Seperti dilansir Al Jazeera, penumpang pertama yang tiba di bawah aturan baru mendarat di bandara di kota selatan Guangzhou dan Shenzhen, tepat setelah tengah malam pada Ahad 8 Januari 2023, menurut televisi China Global Television Network (CGTN) milik negara.
Sebanyak 387 penumpang dalam penerbangan dari Singapura dan Toronto Kanada tidak menjalani tes COVID-19 pada saat kedatangan. Mereka juga tidak harus menjalani karantina selama lima hari di fasilitas pemerintah terpusat.
Beijing mulai membongkar strategi garis keras karantina wajib, penguncian yang melelahkan, dan pengujian yang sering dilakukan menyusul protes bersejarah terhadap pembatasan bulan lalu.
Namun, perubahan mendadak telah membuat banyak dari 1,4 miliar populasinya terkena virus untuk pertama kalinya. Hal ini memicu gelombang infeksi yang membanjiri beberapa rumah sakit, mengosongkan rak obat-obatan di apotek, dan menyebabkan antrean panjang di krematorium.
Pelonggaran pembatasan perjalanan secara efektif membuka pintu bagi banyak orang China untuk pergi ke luar negeri untuk pertama kalinya sejak perbatasan ditutup hampir tiga tahun lalu. Mereka tak perlu takut harus diisolasi di fasilitas pemerintah saat kembali.
Namun, lonjakan pengunjung menyebabkan lebih dari selusin negara memberlakukan tes COVID-19 wajib pada pelancong dari China. Mereka mengutip kekhawatiran atas kurangnya data pemerintah China dalam infeksi dan kematian akibat penyakit tersebut, serta potensi munculnya subvarian baru dan lebih ganas dari virus corona.
Beijing menyebut pembatasan perjalanan itu "tidak dapat diterima".
Terlepas dari persyaratan pengujian, Zhang Kai yang berusia 28 tahun mengatakan bahwa dia merencanakan perjalanan ke Korea Selatan atau Jepang. “Saya senang, sekarang akhirnya [saya bisa] bebas,” kata Zhang.
Teman-temannya sudah mendarat di Jepang dan menjalani tes, katanya, menyebut persyaratan itu sebagai "masalah kecil".
Di Tokyo, karikatur Masashi Higashitani mengatakan dia senang dengan pembukaan kembali China dan mengasah keterampilan bahasa Chinanya untuk mempersiapkan lebih banyak wisatawan. Tapi dia mengakui beberapa kekhawatiran.
“Saya bertanya-tanya apakah masuknya terlalu banyak dari mereka dapat membuat kapasitas kami kewalahan. Saya juga khawatir bahwa perlu lebih berhati-hati dengan tindakan anti-virus,” katanya
Para ahli mengatakan meskipun kekhawatiran tentang pelancong dari China dapat dimengerti, kemungkinan mereka menyebabkan lonjakan infeksi sangat kecil.
“Tingkat antibodi di sebagian besar orang China sangat rendah,” kata Yanzhong Huang, seorang rekan senior untuk kesehatan global di Dewan Hubungan Luar Negeri, sebuah wadah pemikir yang berbasis di Amerika Serikat.
“Itu sebagian karena pendekatan 'nol-COVID' selama tiga tahun yang tidak mentolerir infeksi apa pun, yang berarti kebanyakan orang di negara itu tidak terpapar virus, dan juga karena kurangnya kemanjuran vaksin China.”
“Jadi, orang punya alasan untuk khawatir dengan tingginya volume pelancong dari China. Tapi menurut saya tidak masuk akal untuk menganggap penumpang ini sakit atau berbahaya, ”katanya kepada Al Jazeera. “Sejauh ini belum ada bukti munculnya subvarian baru dari China. Dan mengingat sebagian besar negara tujuan ini telah belajar hidup dengan virus tersebut, masuknya pengunjung China tidak akan menyebabkan lonjakan kasus di negara-negara tersebut.”
Baca juga: Top 3 Dunia: Asia Tenggara Sambut Turis China, McDonald's Hengkang
AL JAZEERA