TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Perdana Menteri Italia Mario Draghi menilai hanya Presiden Rusia Vladimir Putin yang bisa mengakhiri konflik yang sedang berlangsung antara Moskow dan Kyiv. Rusia mengklaim sudah berulangkali membuka pintu dialog sejak negosiasi dengan Kyiv di Istambul pada Maret 2022.
“Prospek perdamaian sulit, bahkan jika banyak perubahan dalam periode terakhir ini. Saluran komunikasi lebih terbuka dan Cina tampaknya lebih aktif dalam menyodorkan ruang negosiasi,” kata Draghi dalam sebuah wawancara eksklusif dengan surat kabar Corriere della Sera yang dipublikasi pada Sabtu, 24 Desember 2022.
Draghi menambahkan saat ini semua tergantung pada kepemimpinan Rusia untuk mengakhiri serangan melawan Ukraina.
Militer Ukraina melintas di antara atusan salib terlihat di pemakaman massal untuk warga sipil tak dikenal dan tentara Ukraina di kota Izium, baru-baru ini dibebaskan oleh Angkatan Bersenjata Ukraina selama operasi serangan balasan, di wilayah Kharkiv, Ukraina 15 September 2022. Pejabat polisi imenyebutkan bahwa beberapa orang yang dikubur secara massal itu tewas akibat penembakan dan serangan udara Rusia. REUTERS/Oleksandr Khomenko
Selama masih menjabat sebagai orang nomor satu di Italia, Draghi telah menjadi sosok yang paling vokal membela Ukraina. Dia mengirimi Ukraina persenjataan serta menggalang dukungan internasional untuk Ukraina.
Dukungan Draghi bagi Kyiv pada akhirnya telah menjadi salah satu alasan kejatuhannya dari kursi Perdana Menteri Italia. Sebab banyak politikus di Italia yang tak setuju dengan pengiriman senjata sehingga menyebabkan keretakan di koalisi pemerintahan Partai Gerakan Lima Bintang.
Baca juga:Presiden Italia Tolak Pengunduran Diri Perdana Menteri Mario Draghi
Meski sudah banyak ditentang, Draghi tak gentar dan tetap pada kebijakan-kebijakannya dengan mengklaim mendapat dukungan menggagalkan rencana-rencana Rusia. Moskow menyebut tuduhan ambiguitasnya Roma.
“Saya sangat menyadari hubungan masa lalu antara Italia dan Moskow, namun kita tidak bisa tetap pasif dalam menghadapi agresi yang tidak ada motifasinya serta kekerasan sistemik yang melanggar hukum internasional dan HAM. Namun, Kremlin sejauh ini memperlihatkan sikap belum menginginkan perdamaian,” kata Draghi.
Moskow sebelumnya sudah memperlihatkan sinyalemen kesiapan untuk bernegosiasi dengan Ukraina, namun berkeras segala bentuk perundingan harus dengan mempertimbangkan kepentingan Rusia. Bukan hanya itu, Rusia juga menyoroti kurangnya upaya diplomatic dalam mengakhiri konflik dengan Kyiv serta sikap yang lebih memilih melanjutkan permusuhan.
Sumber: Reuters
Baca juga: Putin Perintahkan Industri Senjata Tingkatkan Pasokan untuk Perang Ukraina
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.