TEMPO.CO, Jakarta - Data teranyar dari lembaga think thank Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menunjukkan, penjualan senjata dan layanan militer oleh 100 perusahaan pertahanan terbesar dunia naik 1,9 persen menjadi US$592 miliar pada 2021. Kenaikan terjadi meskipun ada masalah rantai pasokan yang menghambat pengiriman komponen penting.
Baca juga: 5 Negara yang Kerap Menjual Senjata ke Israel
Pengiriman senjata meningkat dari 1,1 persen pada 2019-2020. Laporan SIPRI dalam Database Industri Persenjataan yang dirilis Senin 5 Desember 2022 oleh Al Jazeera menunjukkan jumlah ini menandai tahun ketujuh berturut-turut peningkatan penjualan senjata global.
SIPRI mengatakan, masalah rantai pasokan menghambat perdagangan senjata pada 2021 dan kemungkinan menjadi lebih buruk akibat invasi Rusia di Ukraina.
“Kami mungkin mengharapkan pertumbuhan yang lebih besar dalam penjualan senjata pada 2021 tanpa masalah rantai pasokan yang terus-menerus. Perusahaan senjata yang lebih besar dan lebih kecil mengatakan bahwa penjualan mereka terpengaruh sepanjang tahun, “kata Direktur Program Pengeluaran Militer dan Produksi Senjata SIPRI, Lucie Béraud-Sudreau. “Beberapa perusahaan, seperti Airbus dan General Dynamics, juga melaporkan kekurangan tenaga kerja."
Laporan SIPRI mengatakan, invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 juga meningkatkan tantangan rantai pasokan bagi perusahaan senjata di seluruh dunia. Bagi negara-negara Barat, tercatat bahwa Rusia merupakan pemasok signifikan bahan mentah yang digunakan dalam produksi senjata.
“Ini dapat menghambat upaya yang sedang berlangsung di Amerika Serikat dan Eropa untuk memperkuat angkatan bersenjata mereka, dan mengisi kembali persediaan mereka setelah mengirimkan amunisi dan peralatan lain senilai miliaran dolar ke Ukraina,” ujar Béraud-Sudreau.