TEMPO Interaktif, Manila: Sejumlah jurnalis yang tergabung dalam Southeast Asian Press Alliance (SEAPA), aliansi jurnalis di Asia Tenggara, mendesak Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo mengusut dan menghukum dalang pembunuhan 78 jurnalis di negara itu.
SEAPA prihatin karena praktek intimidasi dan pembunuhan di kalangan pekerja media di Filipina terus berlangsung hingga ke taraf yang mengkhawatirkan. "Kami mendesak dalang dan pelaku pembunuhan dibawa ke pengadilan, dan segera akhiri impunitas," para jurnalis tersebut menegaskan dalam siaran pers yang diterima Tempo kemarin.
Sejak Sabtu lalu hingga kemarin, jurnalis dari Malaysia, Indonesia, Kamboja, dan Thailand berkumpul di Manila untuk memperingati empat tahun terbunuhnya penyiar radio Marlene Esperat dan kolumnis Sultan Kudarat. Sekaligus memperingati berlanjutnya praktek pembunuhan terhadap pekerja media di Filipina serta tidak seriusnya pemerintah Filipina mengakhiri praktek pembunuhan terhadap para jurnalis.
Berdasarkan data Centre for Media Freedom and Responsibility yang dilansir SEAPA, rata-rata lima jurnalis Filipina terbunuh saat bertugas di negara itu sejak 2001, yakni saat Arroyo menjabat presiden. Jika dihitung sejak Fidel Marcos berkuasa pada 1986 sampai akhir Februari 2009, jumlah jurnalis yang terbunuh mencapai 78 orang.
Situasi ini, menurut SEAPA, yang bermarkas di Bangkok, Thailand, menjadi perhatian serius para jurnalis di kawasan ASEAN. Sebab, budaya impunitas yang mengakar di Filipina dipercaya akan dapat ditiru oleh pemerintah di negara-negara kawasan ASEAN. "Inilah alasan kami datang dan berkumpul di Filipina," ujar para jurnalis itu. Hal ini juga bentuk solidaritas jurnalis dan media di ASEAN bagi jurnalis Filipina. "Kami menghormati 78 jurnalis itu, yang dibunuh saat menjalankan tugas."
SEAPA juga mengusulkan agar pemerintah Filipina membentuk satuan tugas untuk mengungkap kasus pembunuhan tersebut. Bersamaan dengan itu, mereka meminta semua pekerja media di Filipina dan di ASEAN memperhatikan kode etik dan standar profesional jurnalisme.
Kepada masyarakat Filipina, SEAPA menyerukan agar secara aktif mereka menggalang kampanye antiimpunitas dan membangun solidaritas dengan komunitas media. "Karena, begitu jurnalis dibunuh, itu berarti pengabaian terhadap hak publik untuk mendapatkan informasi," SEAPA menegaskan.
MARIA HASUGIAN