TEMPO.CO, Jakarta - Para negosiator berhasil menyepakati apa yang disebut dana kerugian dan kerusakan. Kesepakatan yang dibuat pada Minggu, 20 November 2022 tersebut akan memberi kompensasi kepada negara-negara miskin yang mengalami cuaca ekstrem seperti kekeringan, banjir, dan gelombang panas yang diperparah oleh emisi karbon dari negara-negara kaya.
Kesepakatan tersebut dianggap sebagai kemenangan yang pantas untuk keadilan iklim yang akan menguntungkan negara-negara yang telah berkontribusi sedikit terhadap polusi yang memanaskan dunia tetapi yang paling menderita. Akan tetapi kesepakatan yang lebih besar dan bisa dibilang lebih penting untuk melangkah lebih jauh dalam pengurangan emisi terbukti terlalu banyak di KTT iklim ini atau COP27.
“Beginilah perjalanan kami selama 30 tahun, akhirnya. Kami harap bisa membuahkan hasil hari ini,” kata Menteri Iklim Pakistan Sherry Rehman, yang sering memimpin negara-negara termiskin di dunia. Satu pertiga wilayah Pakistan terendam banjir bandang padahal sedang musim panas.
Kesepakatan yang dibuat pada 20 November 2022 tersebut, mendapat pujian dari pakar dengan menyebutnya sebagai keputusan bersejarah.
“Dana kerugian dan kerusakan ini akan menjadi penyelamat bagi keluarga miskin yang rumahnya hancur, petani yang ladangnya rusak, dan penduduk pulau yang terpaksa meninggalkan rumah leluhur mereka,” kata Ani Dasgupta, Presiden lembaga kajian bidang lingkungan World Resources Institute, beberapa menit setelah persetujuan dini hari.
“Hasil positif dari COP27 ini merupakan langkah penting untuk membangun kembali kepercayaan dengan negara-negara yang rentan.” tambahnya.
Baca juga: Guardian Ajak Tempo dan Puluhan Media Buat Editorial Bersama Serukan Mitigasi Krisis Iklim Global
Pujian juga disampaikan oleh Alex Scott, pakar diplomasi iklim di lembaga kajian E3G. Dia menyebut kesepakatan itu adalah cerminan dari apa yang bisa dilakukan ketika negara-negara termiskin tetap bersatu.
"Saya pikir ini sangat penting untuk membuat pemerintah bersatu untuk benar-benar menyelesaikan setidaknya langkah pertama, bagaimana menangani masalah kerugian dan kerusakan," kata Scott.
Negara maju masih belum menepati janjinya yang dibuat pada 2009 untuk membelanjakan 100 miliar euro (Rp 1,6 triliun) per tahun sebagai dana bantuan iklim lainnya. Uang itu dirancang untuk membantu negara miskin mengembangkan energi hijau dan beradaptasi dengan pemanasan global di masa depan.
Menurut Harjeet Singh, Kepala strategi bidang politik global dari Jaringan Aksi Iklim Internasional, perjanjian tersebut menawarkan harapan kepada orang-orang yang rentan kalau mereka akan mendapatkan bantuan untuk pulih dari bencana iklim dan membangun kembali kehidupan mereka.
“Kerugian dan kerusakan adalah cara untuk mengenali bahaya masa lalu dan mengkompensasi kerugian masa lalu itu,” kata ilmuwan iklim Dartmouth, Justin Mankin, yang menghitung jumlah dolar untuk pemanasan di setiap negara. "Bahaya ini dapat diidentifikasi secara ilmiah." tambahnya.
Sedangkan Sacoby Wilson, Professor bidang kesehatan lingkungan dan keadilan dari Universitas Maryland, menilai kesepakatan iklim yang dibuat pada hari Minggu kemarin menyoroti tentang perbaikan. Menurutnya negara-negara utara yang kaya mendapat manfaat dari bahan bakar fosil, sedangkan negara-negara selatan yang lebih miskin mengalami kerusakan akibat banjir, kekeringan, pengungsian iklim, dan kelaparan.
Sebelumnya kantor Kepresidenan Mesir pada Sabtu sore, 19 November 2022, mengusulkan agar ada kesepakatan kerugian dan kerusakan yang baru. Gagasan itu tercetus beberapa jam sebelum kesepakatan tercapai, tetapi negosiator dari Norwegia mengatakan bukan hanya Mesir tetapi negara lain juga harus bekerja sama.
Utusan iklim Jerman Jennifer Morgan dan Menteri Lingkungan Chili Maisa Rojas, yang menggiring kesepakatan itu ke dalam agenda dan ke garis finis, saling berpelukan setelah perjalanan, berpose untuk difoto dan mengatakan "yess, kami berhasil!"
Menurut perjanjian tersebut, dana tersebut pada awalnya akan diambil dari kontribusi negara-negara maju dan sumber-sumber swasta dan publik lainnya seperti lembaga keuangan internasional.
Dana tersebut sebagian besar akan ditujukan untuk negara-negara yang paling rentan, meskipun akan ada ruang bagi negara-negara berpenghasilan menengah yang sangat terpukul oleh bencana iklim untuk mendapatkan bantuan.
Dunia telah menghangat 1,1 derajat Celsius sejak pertengahan abad ke-19. Beberapa pembahasan dalam COP27 di Mesir menyinggung tentang mitigasi, yang tampaknya dikembalikan ke perjanjian Paris 2015.
Sebelum para ilmuwan mengetahui betapa pentingnya ambang batas 1,5 derajat dan banyak menyebutkan ambang batas 2 derajat celcius yang lebih lemah. Ilmuwan iklim Maarten van Aalst dari Pusat Iklim Palang Merah Bulan Sabit Merah mengatakan kondisi ini membuat para ilmuwan dan warga Eropa takut untuk mundur.
“Kita perlu mendapatkan kesepakatan tentang 1,5 derajat. Kami membutuhkan kata-kata yang kuat tentang mitigasi dan itulah yang akan kami dorong.” kata Menteri Lingkungan Hidup Irlandia Eamon Ryan.
Euro News | Nugroho Catur Pamungkas
Baca juga: Tidak Lagi Jadi Presiden, Pemakzulan Donald Trump Tak Cukup Kuat
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.