TEMPO.CO, Jakarta -Konferensi tingkat tinggi atau KTT G20 Bali berhasil menelurkan deklarasi di tengah mustahilnya persatuan global disebabkan oleh invasi Rusia ke Ukraina.
Baca juga: Retno Marsudi: KTT G20 Bali Penuhi Ekspektasi Semua Pihak
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan deklarasi G20 Bali itu merupakan hasil tertinggi yang dicapai oleh Indonesia, bahkan melebihi ekspektasi publik internasional. Peran yang dimainkan oleh Indonesia sebagai penjembatan dan mitra terpercaya di antara negara anggota, bagi Retno, adalah modalnya.
Di beberapa kesempatan pertemuan tingkat menteri G20 yang lalu, tepatnya setelah perang di Ukraina meletus, Barat mogok untuk mengikuti sidang atau keluar saat delegasi dari Moskow menyampaikan pidatonya.
Amerika Serikat, Inggris, Australia, Kanada dan sekutu lainnya memang kompak mendesak supaya perwakilan Rusia, termasuk Presiden Vladimir Putin, tidak mengambil bagian di forum ekonomi tersebut.
Pada acara puncak KTT G20 pekan lalu, Putin tidak hadir dan menunjuk Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov untuk datang ke Bali. Ketegangan geopolitik tetap membayangi sidang yang digelar di hotel mewah yang ada di Badung, di mana fokus presidensi Indonesia adalah pemulihan ekonomi paska-pandemi dengan agenda prioritas di bidang kesehatan, transformasi digital, dan transisi energi.
Kepada Tempo, Jumat, 18 November 2022, Retno menceritakan, dalam negosiasi menuju deklarasi itu, Indonesia mengamankan konten utama dari presidensi G20 terlebih dahulu, sebelum akhirnya mempersilakan negara-negara anggota berdebat sengit mengenai geopolitik. Yang paling penting adalah semua pihak mau berunding untuk mencapai suatu kesepakatan.
Deklarasi G20 Bali awalnya diperkirakan sulit karena ada tegangan geopolitik, bagaimana akhirnya kesepakatan itu dapat tercapai?
Pada saat kita mulai jalan, tantangan kita itu satu, tapi cukup besar: pandemi dan dampaknya terutama terhadap ekonomi. Itu pun dunia sudah ngos-ngosan ya, bagaimana untuk memulihkan ekonomi dunia paska-pandemi. Februari terjadi perang di Ukraina.
Perang itu sendiri one thing, tapi dampak dari perang itu another thing. Jadi bisa dibayangkan kita sudah mengatasi dampak pandemi, kemudian ditumpuk perang, yang membuat tantangan dunia membesar.
Dari Februari kami sudah mulai menyusun sebuah strategi baru, dalam artian apa yang terjadi di Ukraina itu pasti akan mempengaruhi presidensi G20 Indonesia. Dan di situ kita mulai pembicaraan dengan semua negara G20.
Prioritas kan awal tiga: kesehatan, digital, energi. Kemudian kami hitung, pangan pasti terdampak perang, maka kami hitung pangan ini jadi pokok bahasan di dalam KTT, kalau dilihat dari substansinya.
Memang seperti yang disebutkan, sangat sulit dalam situasi seperti ini kami dapat menghasilkan deklarasi. Dan dari waktu ke waktu, rivalitas atau perbedaan di antara pihak-pihak yang terkait, bukan semakin dekat, tapi malah semakin melebar dan dalam.
Dari sekitar Maret-April, saya sudah mulai melakukan pembicaraan reguler dan intensif dengan para menteri luar negeri negara anggota G20.
Awalnya pada saat itu tentunya yang paling dekat mempersiapkan pertemuan para menteri luar negeri G20 pada Juli. Di titik ini pun kita waktu itu aura pesimis juga ada, sebab Juli lagi sengit-sengitnya.
Maka pertanyaannya dari publik adalah apakah bisa kami mengumpulkan seluruh menteri luar negeri G20 untuk duduk di dalam satu ruang dan tidak terjadi apa-apa, dalam artian seperti walk out dan sebagainya.
Karena kepercayaan yang kami miliki tetap kami pertahankan, pada Juli ini pun kami dapat mengadakan pertemuan menteri luar negeri yang dihadiri oleh seluruh anggota G20.
Padahal saat itu negara-negara anggota mengalami masalah domestik masing-masing, Inggris ada masalah dengan Perdana Menteri Boris Johnson. Kemudian Jepang, kampanye mantan perdana menteri ditembak, meninggal. Dan lain lain.
Dengan segala tantangannya mereka datang, buat kami ada kerja sama yang dapat kita kapitalisasi. Kalau menjadi diplomat, sebuah kedatangan itu, gede maknanya. Semua itu ada makna. Tanpa makna gak mungkin.
Jadi saya ingin memaknai kehadiran mereka, walaupun pada saat debat mengenai geopolitik tetap saja diwarnai oleh perbedaan — yang mana ini tidak dapat terhindarkan, tapi masih ada komitmen kerja sama untuk kepentingan yang lebih besar, untuk kepentingan dunia.
Di antara Juli sampai November banyak pertemuan di tingkat menteri yang lain, di mana setiap itu tim kita ada di dalamnya, supaya titiknya mengalir ke KTT. Jadi dari Juli saya kemudian bertemu intensif dengan menteri luar negeri anggota G20 itu, September saat Sidang Umum PBB.
Di sela Sidang Umum PBB saya hampir bertemu dengan semua menteri G20 untuk membahas persiapan KTT. Jadi bisa dibayangkan ya untuk membuka jalannya itu dilakukan sepanjang tahun, di paruh kedua 2022, Juli hingga September. Dari situ kita sudah mulai berbicara dengan mereka soal kemungkinan yang mungkin muncul.