TEMPO.CO, Jakarta - China pada Ahad 20 November 2022 mengumumkan kematian pertama COVID-19 dalam hampir setengah tahun terakhir. Seperti dilansir Arab News, kematian ini terjadi meski langkah-langkah baru yang ketat diberlakukan di ibu kota Beijing dan di seluruh negeri untuk mencegah wabah baru.
Baca juga: Kasus COVID-19 China Naik, Guangzhou akan Sediakan 250.000 Tempat Tidur Karantina
Kematian pria Beijing berusia 87 tahun itu adalah yang pertama dilaporkan oleh Komisi Kesehatan Nasional sejak 26 Mei. Sehingga, jumlah total kematian di China menjadi 5.227 orang. Kematian sebelumnya dilaporkan di Shanghai, yang mengalami lonjakan besar kasus selama musim panas lalu.
Meski China memiliki tingkat vaksinasi keseluruhan lebih dari 92 persen setelah menerima setidaknya satu dosis, jumlah itu jauh lebih rendah di antara orang tua, terutama mereka yang berusia di atas 80 tahun. Komisi tidak memberikan perincian tentang status vaksinasi korban meninggal.
Kerentanan itu dianggap sebagai salah satu alasan mengapa China sebagian besar menutup perbatasannya dan tetap berpegang pada kebijakan "nol-COVID" yang kaku. Langkah ini berupaya menghapus infeksi melalui penguncian, karantina, pelacakan kasus, dan pengujian massal. Meskipun, langkah ini berdampak pada kehidupan, perekonomian dan meningkatnya kemarahan publik pada pihak berwenang.
Sebagai tanggapan parsial, Kota Zhengzhou mengatakan bahwa tes COVID-19 dari anak di bawah usia 3 tahun dan "kelompok khusus" lainnya yang mencari perawatan kesehatan tidak lagi diperlukan.
Pengumuman oleh pemerintah Zhengzhou muncul setelah kematian anak kedua akibat penegakan anti-virus yang terlalu bersemangat. Seorang bayi perempuan berusia 4 bulan meninggal setelah menderita muntah dan diare saat dikarantina di sebuah hotel di Zhengzhou.
Laporan mengatakan ayahnya butuh 11 jam untuk mendapatkan bantuan setelah petugas kesehatan menolak untuk memberikan bantuan. Dia akhirnya dikirim ke rumah sakit 100 kilometer dari lokasi.
Pengguna internet mengungkapkan kemarahannya pada "nol COVID" dan menuntut pejabat di Zhengzhou dihukum karena gagal membantu masyarakat dan menewaskan anak tidak berdosa.
Hal ini mengikuti protes sebelumnya atas kematian anak laki-laki berusia 3 tahun akibat keracunan karbon monoksida di barat laut China. Ayahnya menyalahkan petugas kesehatan di kota Lanzhou, yang menurutnya berusaha menghentikannya membawa putranya ke rumah sakit.
Kasus lain termasuk seorang wanita hamil yang mengalami keguguran setelah dia ditolak masuk ke rumah sakit di kota barat laut Xi'an. Ibu hamil ini dipaksa duduk di luar dalam cuaca dingin selama berjam-jam.
Setiap kasus seperti itu membawa janji dari Partai Komunis yang berkuasa – paling baru minggu lalu – bahwa orang-orang di karantina atau yang tidak dapat menunjukkan hasil tes negatif tidak akan diblokir untuk mendapatkan bantuan darurat.
Namun, partai seringkali mendapati dirinya tidak mampu mengendalikan tindakan keras yang diberlakukan oleh pejabat lokal karena takut kehilangan pekerjaan. Atau, menghadapi tuntutan jika wabah terjadi di wilayah di bawah yurisdiksi mereka.
Hampir tiga tahun setelah pandemi, sementara sebagian besar dunia telah terbuka dan dampaknya terhadap ekonomi China meningkat, Beijing masih menutup sebagian besar perbatasannya dan melarang perjalanan bahkan di dalam negeri.
Di ibu kota Beijing, penduduk diberitahu untuk tidak melakukan perjalanan antar distrik kota, dan sejumlah besar restoran, toko, mal, gedung perkantoran, dan blok apartemen telah ditutup atau diisolasi. China pada Minggu mengumumkan 24.215 kasus baru, sebagian besar dari mereka tanpa gejala.
Baca juga: Kasus Baru COVID-19 Naik, Warga China Keluhkan Sulitnya Masuk Beijing
ARAB NEWS